FAKTOR PENYEBAB STUNTED
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stunting
Menurut
UNICEF (1998), pertumbuhan dipengaruhi oleh sebab langsung dan tidak langsung.
Penyebab langsung diantaranya adalah asupan makanan dan keadaan kesehatan,
sedangkan penyebab tidak langsung meliputi ketersediaan dan pola konsumsi rumah
tangga, pola pengasuhan anak, sanitasi lingkungan dan pemanfaatan pelayanan
kesehatan. Faktor-faktor tersebut ditentukan oleh sumber daya manusia, eknonomi
dan organisasi melalui faktor pendidikan. Penyebab paling mendasar dari tumbuh
kembang adalah masalah struktur politik, ideologi, dan sosial ekonomi yang
dilandasi oleh potensi sumber daya yang ada (Supariasa et al., 2012).
Menurut
Tuft (2001) dalam The World Bank
(2007) stunting disebabkan oleh tiga
faktor yaitu faktor individu yang meliputi asupan makanan, berat badan lahir,
dan keadaan kesehatan; faktor rumah tangga yang meliputi kualitas dan kuantitas
makanan, sumber daya, jumlah dan struktur keluarga, pola asuh, perawatan
kesehatan, dan pelayanan; serta faktor lingkungan yang meliputi infrastruktur sosial
ekonomi, layanan pendidikan dan layanan kesehatan. Sedangkan menurut
Soetjiningsih (1995) tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh genetik dan
lingkungan.
a.
Asupan Makan
Asupan zat-zat gizi yang lengkap masih terus
dibutuhkan anak selama proses tumbuh kembang masih berlanjut karena proses
tumbuh kembang ini dipengaruhi oleh makanan yang diberikan pada anak. Makanan
yang diberikan harus tepat baik jenis dan jumlahnya hingga kandungan gizinya. Zat
gizi yang dibutuhkan anak ditentukan oleh usia, jenis kelamin, aktivitas, berat
badan, dan tinggi badan. Tubuh anak tetap membutuhkan semua zat gizi utama
yaitu karbohidrat, lemak, protein, serat, vitamin dan mineral (Marimbi, 2010).
Menurut Marimbi (2010) antara asupan zat gizi dan
pengeluarannya harus ada keseimbangan sehingga diperoleh status gizi yang baik.
Penilaian status gizi dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi
dapat dilakukan melalui survey konsumsi makanan (Depkes Malang, 2008). Menurut Supariasa
et al. (2012) ada beberapa metode
pengukuran konsumsi makanan. Untuk menentukan jumlah konsumsi rata-rata dari
sekelompok responden maka dapat menggunakan metode recall 2x24 jam atau penimbangan selama satu hari sudah cukup.
Sedangkan untuk mengetahui kebiasaan atau pola konsumsi dari sekelompok
masyarakat, maka dapat menggunakan metode frekuensi makanan. Berikut ini
langkah-langkah penggunaan metode recall 2x24
jam dan frekuensi makanan :
1)
Metode Food Recall 2x24 jam
Langkah pelaksanaan recall 2x24 jam, sebagai berikut :
a)
Petugas atau
pewawancara menanyakan kembali dan mencatat semua makanan dan minuman yang
dikonsumsi responden dalam ukuran rumah tangga (URT) selama kurun waktu 24 jam
yang lalu. Selain dari makann utama, makanan kecil atau jajan juga dicatat,
termasuk makanan yang dimakan diluar rumah.
b)
Pewawancara
melakukan konversi dari URT ke dalam ukuran berat (gram). Dalam menaksir/ memperkirakan
ke dalam ukuran berat (gram) pewawancara menggunakan berbgai alat bantu seperti
ukuran rumah tangga (piring, gelas, sendok, dan lain-lain) atau model dari
makanan (food model). Makanan yang
dikonsumsi dapat dihitung dengan alat bantu ini atau dengan menimbang langsung
contoh makanan yang dikonsumsi.
c)
Menganalisis
bahan makanan ke dalam zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan
Makanan (DKBM)
d)
Membandingkan
dengan Daftar Kecukupan Gizi yang dianjurkan (DKGA) atau Angka Kecukupan Gizi
(AKG) untuk Indonesia
2)
Metode Frekuensi
Makanan (Food Frequency)
Langkah pelaksanaan Frekuensi Makanan (Food Frequency), sebagai berikut :
a)
Responden diminta
untuk memberi tanda pada daftar makanan yang tersedia pada kuesioner mengenai
frekuensi penggunaanya dan ukuran porsinya
b)
Lakukan
rekapitulasi tentang frekuensi penggunaan jenis-jenis bahan makanan terutama
bahan makanan yang merupakan sumber-sumber zat gizi tertentu selama periode
tertentu.
Untuk menilai tingkat konsumsi makanan (energi dan
zat gizi), diperlukan standar kecukupan yang dianjurkan atau Recommended Dietary Allowance (RDA)
untuk populasi yang diteliti. Menurut Permenkes (2013) angka kecukupan gizi
yang dianjurkan berdasarkan AKG (2012) sebagai berikut :
Tabel 2.2 Kebutuhan Energi, Protein, Lemak, dan Karbohidrat Berdasarkan Angka
Kecukupan Gizi (AKG) 2012 rata-rata perhari
Kelompok umur
|
BB*
(Kg)
|
TB*
(cm)
|
Energi
(Kkal)
|
Protein
(g)
|
Lemak (g)
|
Karbohidrat
(g)
|
Serat
(g)
|
Air
(mL)
|
||
Total
|
n-6
|
n-3
|
||||||||
0-6 bulan
|
6
|
61
|
550
|
12
|
34
|
4,4
|
0,5
|
58
|
0
|
-
|
7-11 bulan
|
9
|
71
|
725
|
18
|
36
|
4,4
|
0,5
|
82
|
10
|
800
|
1-3 tahun
|
13
|
91
|
1125
|
26
|
44
|
7,0
|
0,7
|
155
|
16
|
1200
|
4-6 tahun
|
19
|
112
|
1600
|
35
|
62
|
10,0
|
0,9
|
220
|
22
|
1500
|
7-9 tahun
|
27
|
130
|
1850
|
49
|
72
|
10,0
|
0,9
|
254
|
26
|
1900
|
Sumber : Permenkes RI (2013)
Tabel 2.3 Kebutuhan Mineral Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2012 rata-rata
perhari
Mineral
|
Kelompok Umur
|
||||
0-6 bulan
|
7-11 bulan
|
1-3 tahun
|
4-6 tahun
|
7-9 tahun
|
|
Kalsium
(mg)
|
200
|
250
|
650
|
1000
|
1000
|
Fosfor
(mg)
|
100
|
250
|
500
|
500
|
500
|
Magnesium
(mg)
|
30
|
55
|
60
|
95
|
120
|
Natrium
(mg)
|
120
|
200
|
1000
|
1200
|
1200
|
Kalium
(mg)
|
500
|
700
|
3000
|
3800
|
4500
|
Mangan
(mg)
|
-
|
0,6
|
1,2
|
1,5
|
1,7
|
Tembaga
(mg)
|
200
|
220
|
340
|
440
|
570
|
Kromium
(mcg)
|
-
|
6
|
11
|
15
|
20
|
Besi
(mg)
|
-
|
7
|
8
|
9
|
10
|
Iodium
(mg)
|
90
|
120
|
120
|
120
|
120
|
Seng
(mg)
|
-
|
3
|
4
|
5
|
11
|
Selenium
(mcg)
|
5
|
10
|
17
|
20
|
20
|
Fluor
(mcg)
|
-
|
0,4
|
0,5
|
0,9
|
1,2
|
Sumber : Permenkes RI (2013)
Berdasarkan Buku
Pedoman Petugas Gizi Puskesmas Depkes RI (1990), klasifikasi tingkat konsumsi zat
gizi makro dibagi menjadi empat dengan cut
point masing-masing sebagai berikut (Supariasa et al., 2012) :
-
Lebih : ≥ 120% AKG
-
Baik : 100-119% AKG
-
Sedang : 80-99% AKG
-
Kurang : 70-79% AKG
-
Defisit : < 70% AKG
Sedangkan untuk
klasifikasi tingkat konsumsi zat gizi mikro dibagi menjadi dua dengan cut point sebagai berikut (Gibson,
2005):
-
Kurang : < 77% AKG
-
Cukup : ≥ 77% AKG
Terdapat beberapa zat gizi baik zat gizi makro dan
mikro yang berhubungan dengan pertumbuhan pada balita, yaitu:
1)
Zat Gizi Makro (Energi dan Protein)
Masa kanak-kanak merupakan masa
pertumbuhan dan perkembangan tulang, gigi, otot, dan darah, maka pada masa ini
memerlukan zat gizi lebih dibandingkan orang dewasa. Energi yang dibutuhkan
oleh anak-anak dipengaruhi oleh basal metabolisme, laju pertumbuhan, dan energi
yang dikeluarkan untuk melakukan aktifitas (Mahan et al., 2012). Selain itu, menurut Almatsier (2009) pertumbuhan
tinggi badan bisa terhambat bila seorang anak mengalami defisiensi protein (meskipun
konsumsi energinya cukup). Jika tubuh kekurangan khususnya karbohidrat dan
lemak maka cadangan protein akan dirombak untuk menutupi kekurangan tersebut
dan digunakan sebagi sumber energi. Pada anak yang megalami kurang energi
protein akan terhambat pertumbuhannya, rentan terhadap penyakit terutama
infeksi dan mengakibatkan rendahnya prestasi belajar anak.
Data riset kesehatan dasar (Riskesdas)
yang dilakukan pada tahun 2007 dan 2010 secara konsisten menunjukkan bahwa
rata-rata asupan kalori dan protein anak balita masih di bawah Angka Kecukupan
Gizi (AKG). Akibat dari keadaan tersebut, anak balita perempuan dan anak balita
laki-laki Indonesia mempunyai rata-rata tinggi badan masing-masing 6,7 cm dan
7,3 cm lebih pendek daripada standar rujukan WHO 2005 (Bappenas, 2011).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa asupan energi
dan protein berhubungan dengan kejadian stunting.
Penelitian yang dilakukan Fitri
(2012) berdasarkan data RISKESDAS 2010 di Sumatera menyebutkan bahwa asupan zat
gizi berupa energi dan protein menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap
kejadian stunting. Hal yang sama juga
ditunjukkan pada penelitian Oktarina (2012) bahwa terdapat hubungan antara
tingkat konsumsi energi dengan kejadian stunting
pada balita, namun tidak ditemukan hubungan antara tingkat konsumsi protein
dengan kejadian stunting. Hal ini
berbeda dengan Anisa (2012) dalam penelitiannya ditunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara asupan protein dengan kejadian stunting.
2)
Zat Gizi Mikro (Kalsium, Besi, dan Zink)
Kalsium merupakan salah satu makro elemen, yaitu mineral
yang dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg sehari. Sumber utama
kalsium dalam makanan terdapat pada susu dan hasil olahnya, seperti keju atau
yogurt. Sumber kalsium selain susu juga penting untuk memenuhi kebutuhan kalsium,
baik yang berasal dari hewani atau nabati. Sumber kalsium yang berasal dari
hewani, seperti sarden, ikan yang dimakan dengan tulang, termasuk ikan kering
merupakan sumber kalsium yang baik. Sumber kalsium yang berasal dari nabati,
seperti serealia, kacang-kacangan dan hasil kacang-kacangan, tahu dan tempe,
dan sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik juga, tetapi bahan makanan
ini mengandung banyak zat yang menghambat penyerapan kalsium seperti serat, fitat,
dan oksalat (Almatsier, 2009).
Tabel 2.4
Nilai Kalsium dalam Bahan Makanan (mg/100 gram)
Bahan Makanan
|
Mg
|
Bahan Makanan
|
mg
|
Ikan tawar
|
346
|
Kacang
panjang
|
60
|
Kelor
|
255
|
Wortel
|
45
|
Tahu
|
223
|
Jeruk
|
33
|
Kacang hijau
|
223
|
Ubi
jalar
|
30
|
Sawi
|
220
|
Bayam
|
27
|
Telur bebek
|
150
|
Pepaya
|
23
|
Telur ayam
|
147
|
Mangga
|
20
|
Susu
|
143
|
Daging
ayam
|
13
|
Udang
|
136
|
Roti
|
10
|
Tempe
|
129
|
Pisang
|
9
|
Ikan laut
|
92
|
Semangka
|
7
|
Singkong
|
77
|
Jagung
|
6
|
Kentang
|
63
|
Apel
|
6
|
Biscuit
|
62
|
Daging
sapi
|
3
|
Sumber : Tabel Komposisi Pangan Indonesia (2009)
Kalsium merupakan mineral yang paling banyak
terdapat dalam tubuh. sekitar 99% total kalsium dalam tubuh ditemukan dalam
jaringan keras yaitu tulang dan gigi terutama dalam bentuk hidoksiapatit, hanya
sebagian kecil dalam plasma dan cairan ekstravaskular (Almatsier, 2009).
Kalsium di dalam tulang mudah dimobilisasi ke dalam cairan tubuh dan darah,
bila diperlukan untuk diteruskan kepada sel-sel jaringan yang lebih
memerlukannya. Terutama trabecule dari
struktur tulang merupakan tempat penimbunan kalsium yang mudah sekali
melepaskan kalsium untuk dipergunakan ke dalam keperluan lain (Sediaoetama,
2008). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar tingkat konsumsi kalsium anak
balita tergolong kurang sebesar 60,46%. Masa balita adalah masa pertumbuhan,
dimana pada masa ini diperlukan kalsium yang tinggi. Karena kekurangan
kekurangan kalsium pada masa pertumbuhan menyebabkan gangguan pertumbuhan.
Tulang kurang kuat, mudah bengkok, dan rapuh (Almatsier, 2009). Menurut
Sulistyoningsih (2012) defisiensi kalsium dapat menyebabkan gangguan
pertumbuhan, tulang mudah patah, rakhitis pada anak-anak, sering kejang,
mineralisasi tulang dan gigi terganggu (kerusakan gigi).
Salah satu mikronutrien
esensial bagi manusia adalah Fe atau zat besi yang merupakan mineral mikro yang
paling banyak di dalam tubuh yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh (Almatsier,
2009). Sumber zat besi paling utama dan paling baik baik adalah pada makanan
hewani, seperti daging, ayam, ikan dan makanan hasil olahan darah. Sumber zat
besi yang baik lainnya adalah telur, serealia, kacang-kacangan, biji-bijian,
sayuran hijau, dan buah-buahan. Disamping jumlah besi, perlu diperhatikan
kualitas besi di dalam makanan yang dinamkan juga ketersediaan biologik tinggi,
besi dalam serealia dan kacang-kacangan mempunyai ketersediaan biologik sedang,
dan besi dalam sebagian besar sayuran, terutama yang mengandung oksalat tinggi
seperti bayam mempunyai ketersediaan biologik rendah.
Tabel
2.5 Nilai Zat Besi dalam Bahan Makanan (mg/100 gram)
Bahan Makanan
|
Mg
|
Bahan Makanan
|
mg
|
Udang
|
8
|
Daging
ayam
|
1,5
|
Kacang hijau
|
7,5
|
Roti
|
1,5
|
Telur ayam
|
7,2
|
Jagung
|
1,1
|
Telur bebek
|
7
|
Singkong
|
1,1
|
Kelor
|
6
|
Mangga
|
1
|
Tempe
|
4
|
Wortel
|
1
|
Bayam
|
3,5
|
Ikan
tawar
|
0,9
|
Tahu
|
3,4
|
Pisang
|
0,9
|
Sawi
|
2,9
|
Kentang
|
0,7
|
Daging sapi
|
2,8
|
Kacang
panjang
|
0,6
|
Biskuit
|
2,7
|
Jeruk
|
0,4
|
Ikan laut
|
1,7
|
Ubi
jalar
|
0,4
|
Papaya
|
1,7
|
Apel
|
0,3
|
Susu
|
1,7
|
Semangka
|
0,2
|
Sumber
: Tabel Komposisi Pangan Indonesia (2009)
Menurut Indonesian
Pediatric Society (IDAI) Kekurangan zat besi sangat mempengaruhi fungsi
kognitif, tingkah laku dan pertumbuhan seorang bayi. Gejala yang paling sering
ditemukan adalah pucat yang berlangsung lama (kronis) dan dapat ditemukan
gejala komplikasi antara lain lemas, mudah lelah, mudah infeksi, gangguan
prestasi belajar, menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi dan gangguan
perilaku.
Zink termasuk dalam kelompok zat gizi mikro yang
mutlak dibutuhkan dalam jumlah yang sangat kecil untuk memelihara kehidupan
yang optimal. Zink terdapat dalam jumlah yang cukup banyak di dalam setiap sel,
kecuali sel darah merah dimana zat besi berfungsi khusus mengangkut oksigen.
Sekalipun kalsium merupakan elemen makro namun jumlahnya dalam sel lebih kecil
dibandingkan seng, kecuali di dalam tulang. Zink tidak terbatas fungsinya
seperti zat besi dan kalsium. Fungsi fisiologi yang bergantung pada seng ialah
pertumbuhan dan pembelahan sel, antioksidan, perkembangan seksual, kekebalan
seluler dan humoral, adaptasi gelap, pengecapan dan nafsu makan. Zink terutama
dibutuhkan untuk proses percepatan pertumbuhan, hal ini bukan saja disebabkan
karena efek replikasi sel dan metabolisme asam nukleat, tetapi juga sebagai
mediator dari aktifitas hormon pertumbuhan. Bahan makanan sumber zink
diantaranya bayam, kepiting, jamur, kacang-kacangan, tiram, kuning telur,
biji-bijian dan daging merah.
Tabel
2.6 Nilai Zink dalam Bahan Makanan (mg/100 gram)
Bahan Makanan
|
Mg
|
Bahan Makanan
|
mg
|
Daging sapi
|
4,1
|
Kacang
panjang
|
0,5
|
Tempe
|
1,8
|
Susu
|
0,4
|
Daging ayam
|
1,8
|
Bayam
|
0,4
|
Ikan laut
|
1,6
|
Singkong
|
0,3
|
Telur bebek
|
1,4
|
Jagung
|
0,3
|
Kacang hijau
|
1,3
|
Sawi
|
0,2
|
Udang
|
1,3
|
Ubi
jalar
|
0,2
|
Telur ayam
|
1,1
|
Pisang
|
0,2
|
Tahu
|
0,8
|
Jeruk
|
0,1
|
Roti
|
0,8
|
Pepaya
|
0,1
|
Biskuit
|
0,7
|
Semangka
|
0,1
|
Kelor
|
0,6
|
Mangga
|
0,04
|
Wortel
|
0,6
|
Kentang
|
0
|
Ikan tawar
|
0,5
|
Apel
|
0
|
Sumber :Nutrisurvey
(2007)
Konsekuensi defisiensi mikronutrien selama masa anak-anak
sangat berbahaya. Defisiensi zink juga dapat menyebabkan pertumbuhan terlambat,
dermatosis, hipogonadisme, oligospermi, adaptasi gelap yang menurun, gangguan
imunitas, rambut rontok, nafsu makan yang berkurang (Pudjiaji, 2005). Menurut
Solomons (1993) manifestasi defisiensi zink pada manusia sangat bervarisi, pada defisiensi
yang ringan gejala-gejala yang ditemukan adalah anoreksi, kulit kering dan
oligospermia. Salah satu manifestasi defisiensi seng pada anak balita adalah
retardasi pertumbuhan linier (pendek atau stunting).
Pada anak-anak gejala yang paling menonjol adalah pertumbuhan yang terhambat (growth retardation).
b.
Penyakit Infeksi
Konsumsi diet yang cukup tidak menjamin pertumbuhan fisik yang
normal, karena kejadian penyakit lain, seperti infeksi akut atau kronis, dapat
mempengaruhi proses yang kompleks terhadap terjadinya atau pemeliharaan defisit
pertumbuhan pada anak (Anisa, 2012). Menurut Suiraoka et al. (2011) hubungan penyakit infeksi dengan keadaan gizi kurang
merupakan hubungan timbal balik dan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat
memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi yang kurang dapat mempermudah
seseorang terkena penyakit infeksi yang akibatnya dapat menurunkan nafsu makan,
adanya gangguan penyerapan dalam saluran pencernaan atau peningkatan kebutuhan
zat gizi oleh adanya penyakit sehingga kebutuhan zat gizi tidak terpenuhi.
Anak dengan penyakit infeksi dapat mengganggu proses
pertumbuhannya. Penyakit infeksi yang sering diderita oleh anak dengan KEP
adalah diare dan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) (Suryono et al., 2004). Menurut Supariasa et al. (2012) ada hubungan yang sangat
erat antara infeksi (bakteri, virus, dan parasit) dengan kejadian malnutrisi.
Mereka menekankan interaksi yang sinergis antara malnutrisi dengan penyakit
infeksi dan juga infeksi akan mempengaruhi zat gizi dan mempercepat malnutrisi.
Berdasarkan penelitian Masithah et al. (2005) status kesehatan berupa penyakit infeksi memiliki
hubungan positif terhadap indeks status gizi TB/U. Menurut Astari et al. (2005) penyakit infeksi seperti
diare dan ISPA yang disebabkan oleh sanitasi pangan dan lingkungan yang buruk,
berhubungan dengan kejadian stunting
pada bayi usia 6 – 12 bulan. Tando (2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa
status kesehatan berupa frekuensi dan durasi sakit pada balita memberikan
resiko kemungkinan terjadinya stunting pada
anak SD di Kecamatan Malayan Kota Manado.
c.
Berat Lahir
Berat lahir pada khususnya sangat terkait dengan kematian janin,
neonatal, dan postneonatal; mordibitas bayi dan anak; dan pertumbuhan dan
pengembangan jangka panjang. Bayi dengan berat lahir rendah (BBLR)
didefinisikan oleh WHO yaitu berat lahir kurang dari 2500 gr. Anak yang BBLR
kedepannya akan memiliki ukuran antropometri yang kurang di masa dewasa. Bagi
perempuan yang lahir dengan berat rendah, memiliki risiko besar untuk menjadi
ibu yang stunted sehingga akan cenderung melahirkan bayi dengan berat
lahir rendah seperti dirinya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang stunted
tersebut akan menjadi perempuan dewasa yang stunted
juga, dan akan membentuk siklus sama seperti sebelumnya (Semba dan Bloem,
2001).
Fitri (2012) menyebutkan bahwa berat lahir secara bermakna
berhubungan dengan kejadian stunting. Hal
ini sejalan dengan penelitian Oktarina (2012) yang menyebutkan bahwa berat
lahir merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian stunting.
Growth faltering atau kegagalan pertumbuhan yang mengakibatkan terjadinya stunting atau underweight pada umumnya terjadi dalam periode yang singkat
(sebelum lahir hingga kurang lebih umur 2 tahun), namun mempunyai konsekuensi
yang serius kemudian hari. Seorang anak laki-laki yang kelak akan menjadi
dewasa stunted dapat mengakibatkan
produksi kerja yang kurang hingga berdampak terhadap status ekonomi. Sedangkan
seorang anak perempuan yang mengalami stunting,
layaknya akan menjadi seorang perempuan dewasa stunted, apabila kelak hamil akan lahir seorang bayi dengan berat
lahir rendah (Kusharisupeni, 2002).
d.
Genetik
Faktor genetik merupakan
modal dasar mencapai hasil proses pertumbuhan. Melalui genetik yang berada di
dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas
pertumbuhan. Hal ini ditandai dengan intensitas dan kecepatan pembelahan,
derajat sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas dan
berhentinya pertumbuhan tulang (Soetjiningsih, 1995). Salah satu atau kedua orang tua yang pendek
akibat kondisi patologi (seperti defisiensi hormon pertumbuhan) memiliki gen
dalam kromosom yang membawa sifat pendek sehingga memperbesar peluang anak
mewarisi gen tersebut dan tumbuh menjadi stunting.
Akan tetapi, bila orang tua pendek akibat kekurangan zat gizi atau
penyakit, kemungkinan anak dapat tumbuh dengan tinggi badan normal selama anak
tersebut tidak terpapar faktor resiko yang lain (Amigo et al., 1997 dalam Nashikah, 2012).
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan
tinggi badan orang tua dengan kejadian stunting.
Nashikah (2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa tinggi badan orang
tua merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting. Hasil ini sejalan dengan
penelitian Aditianti (2010) yang menyebutkan bahwa tinggi badan ayah dan ibu
merupakan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap kejadian stunting.
Faktor Tidak Langsung
a.
Pola Asuh Gizi
Suatu bentuk rangsangan untuk mengoptimalkan
pertumbuhan dan perkembangan otak bayi adalah degan menerapkan pola asah, asih,
dan asuh dalam perawatannya sehari-hari. Dalam pemberian makanan juga perlu
ditunjang dengan pemenuhan zat zat gizi yang tepat (Marimbi, 2010). Adapun
aspek kunci pola asuh gizi yaitu makanan dan minuman pra-lakteal, pemberian kolostrum, pemberian ASI eksklusif,
pemberian MP-ASI, dan praktik penyapihan.
Air susu ibu merupakan makanan yang ideal untuk bayi
terutama pada bulan-bulan pertama. ASI mengandung semua zat gizi untuk
membangun dan penyediaan energi dalam susunan yang diperlukan. ASI tidak
memberatkan fungsi traktus digestivus dan ginjal yang belum berfungsi baik pada
bayi yang baru lahir, serta menghasilkan pertumbuhan fisik yang optimum.
Kandungan ASI memiliki berbagai zat anti infeksi, mengurangi kejadian eksim atopik.
Zat-zat anti infeksi dapat digolongkan dalam golongan spesifik dan
non-spesifik. Responsi imunitas spesifik pada umumnya memerlukan kerja sama
dengan zat non spesifik untuk menyingkirkan kuman atau virus dari tubuh (Pudjiaji,
2005). Proverawati et al. (2010)
menyebutkan ASI mengandung growth faktor
yang diantaranya untuk perkembangan mukosa usus. ASI akan melindungi bayi
terhadap infeksi dan juga merangsang pertumbuhan bayi yang normal.
Menurut WHO (World Health
Organization) ASI eksklusif adalah
pemberian ASI saja tanpa tambahan cairan lain baik susu formula, air putih, air
jeruk, ataupun makanan tambahan lain. Sebelum mencapai usia 6 bulan sistem
pencernaan bayi belum mampu berfungsi dengan sempurna, sehingga ia belum mampu
mencerna makanan selain ASI. Taufiqurrahman (2009), dalam penelitiannya
menyatakan bahwa status menyusu juga merupakan faktor risiko terhadap kejadian stunting. Di Indonesia, perilaku ibu
dalam pemberian ASI ekslusif memiliki hubungan yang bermakna dengan indeks
PB/U, dimana 48 dari 51 anak stunted tidak mendapatkan ASI eksklusif
(Oktavia, 2011).
Menginjak usia 6 bulan ke atas, ASI sebagai sumber nutrisi sudah
tidak mencukupi lagi kebutuhan gizi yang terus berkembang. Oleh karena itu
perlu diberikan makanan pendamping ASI. Pemberian makanan pendamping ASI harus
disesuaikan dengan perkembangan sistem alat pencernaan bayi, mulai dari makanan
bertekstur cair, kental, semi padat hingga akhirnya makanan padat (Marimbi,
2010).
Pemberian makanan pada bayi dan anak merupakan landasan yang
penting dalam proses pertumbuhan. Di seluruh dunia sekitar 30 % anak dibawah
lima tahun yang mengalami stunting
merupakan konsekuensi dari praktek pemberian makanan yang buruk dan infeksi
berulang (WHO, 2011). Meskipun bayi mendapatkan ASI dari ibu secara optimal,
namun jika setelah berusia 6 bulan tidak mendapatkan makanan pendamping yang
cukup baik dari segi kuantitas maupun kualitas, anak-anak akan tetap mengalami stunting (UNICEF, 2008). Penelitian yang
dilakukan oleh Istiftiani (2011) menunjukan bahwa umur pertama pemberian MP-ASI
berhubungan signifikan dengan indeks status gizi PB/U pada baduta.
b.
Tingkat
Pendidikan Orang Tua
Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting
dalam tumbuh kembang anak. Karena dengan pendidikan yang baik, maka orang tua
dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang tata cara pengasuhan
anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anaknya, pendidikannya, dan
sebagainya (Soetjiningsih, 1995). Penelitian Anisa (2012) menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan ayah dan ibu dengan kejadian stunting pada balita di Kelurahan
Kalibaru Depok.
c.
Pekerjaan Ibu
Menurut Zakiah (1998) dalam Aditianti (2010) status
pekerjaan orang tua mempengaruhi pola pengasuhan. Pada orang tua yang bekerja,
khususnya ibu, dapat menyebabkan berkurangnya alokasi waktu untuk anak lebih
sedikit dibandingkan dengan ibu yang bekerja. Hasil penelitian Diana (2006)
mengemukakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pola asuh makan dengan
pekerjaan ibu. Ibu yang bekerja di luar rumah dapat menyebabkan anak tidak
terawatt, sebab anak balita sangat bergantung pada pengasuhannya atau anggota
keluarga yang lain. Selain itu, ibu yang bekerja diluar rumah cenderung
memiliki waktu yang lebih terbatas untuk melaksanakan tugas rumah tangga
dibandingkan ibu yang tidak bekerja, oleh karena itu pola pengasuhan anak akan
berpengaruh dan pada akhirnya pertumbuhan dan perkembangan anak juga akan
terganggu.
d.
Pengetahuan Gizi
Ibu
Hidayat (2005) menjelaskan bahwa pengetahuan gizi
yang rendah dapat menghambat usaha perbaikan gizi yang baik pada keluarga
maupun masyarakat sadar gizi artinya tidak hanya mengetahui gizi tetapi harus
mengerti dan mau berbuat. Menurut Suhardjo (2003) tingkat pengetahuan yang
dimiliki oleh seseorang tentang kebutuhan akan zat-zat gizi berpengaruh
terhadap jumlah dan jenis bahan makanan yang dikonsumsi. Pengetahuan gizi
merupakan salah satu faktor yang dapat berpengaruh terhadap konsumsi pangan dan
status gizi. Ibu yang cukup pengetahuan gizinya akan memperhatikan kebutuhan
gizi anaknya agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.
e.
Jumlah Anggota
Keluarga
Jumlah anggota
rumah tangga juga memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian
stunting pada balita. Anak-anak stunting berasal dari keluarga yang
jumlah anggota rumah tangganya lebih banyak dibandingkan dengan anak-anak
normal (Tshwane University of Technology
et al., 2006 dalam Oktarina, 2012).
Hidayah (2011) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa balita
stunting cenderung lebih banyak terdapat pada keluarga yang memiiki jumlah
anggota rumah tangga > 4 orang dibandingkan dengan keluarga yang memiliki
anggota rumah tangga ≤ 4 orang. Hal tersebut dikarenakan keluarga dengan
anggota rumah tangga > 4 orang cenderung memiliki biaya pengeluaran per
kapita lebih kecil dibandingkan keluarga dengan anggota rumah tangga <
4 orang. Semakin kecilnya pengeluaran per kapita tersebut dapat mengurangi
kemampuan dalam penyediaan makanan bagi tiap-tiap orang dalam keluarga
tersebut, termasuk balita.
f.
Status Ekonomi
Keluarga (Pendapatan dan Pengeluaran)
Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang
tumbuh kembang anak, karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak
baik yang primer maupun yang sekunder (Soetjiningsih, 1995). Menurut Husaini et al. (2006), apabila pendapatan
rendah, maka kebutuhan pangan cenderung lebih dominan dibandingkan dengan
kebutuhan non pangan. Di negara-negara berkembang golongan miskin menggunakan
bagian terbesar dari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan makanan, yaitu umumnya
dua per tiga dari pendapatannya. Namun sebaliknya, apabila pendapatan semakin
baik, maka pengeluaran untuk non pangan akan semakin besar, mengingat semua kebutuhan
pokok untuk makan sudah tepenuhi (Suhardjo, 2003).
Tingkat pengeluaran untuk makanan merupakan kejadian
yang dapat menggambarkan keadaan ekonomi suatu keluarga. Keluarga ekonomi
rendah akan cenderung membelanjakan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan
dasar yaitu makanan. Makanan yang lebih banyak dibeli yaitu makanan berpati
sedangkan untuk makanan sumber protein adalah terutama protein hewani. Hal ini
akan menghubungkan tidak terpenuhinya kebutuhan gizi anak erutama kebutuhan
protein sehingga akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi anak. Status gizi
anak dan kurangnya asupan protein akan menyebabkan anak menjadi sulit tumbuh
dan berkembang. Keadaan ini diperparah apabila tidak mempunyai alokasi dana
sehingga kejadian ini akan memperparah kondisi kesehatan, status gizi dan
tumbuh kembang anak (Santi, 2011).
g.
Umur
Laju pertumbuhan pada tahun pertama kehidupan adalah
lebih cepat dibandingkan pada usia lainnya. Jika dilihat dari umur balita,
ternyata kejadian stunting banyak terdapat pada usia 12 hingga 59 bulan
(Fitri, 2012). Menurut Pudjiadi (2005)
bertambahnya panjang badan lebih cepat pada tahun pertama dibandingkan dengan
tahun-tahun berikutnya. Dilahirkan dengan panjang badan 50 cm, pada umur 50 cm,
pada umur 1 tahun naik menjadi 75 cm (kenaikan 25 cm), pada umur 2 tahun 87 cm
(bertambah 12 cm dalam tahun kedua) pada umur 3 tahun 92 cm (naik hanya 7 cm).
h.
Jenis Kelamin
Jenis kelamin menentukan pula besar kecilnya
kebutuhan gizi bagi seseorang. Pria lebih banyak membutuhkan zat tenaga dan
protein dibandingkan wanita. Pria lebih
sanggup mengerjakan pekerjaan berat yang biasanya tidak biasa dilakukan oleh
wanita. Tetapi dalam kebutuhan zat besi, wanita jelas membutuhkan lebih banyak
daripada pria (Fitri, 2012). Dalam penelitian Aditianti (2010) menunjukkan
adanya hubungan antara jenis kelamin anak dengan status gizi. anak laki-laki
lebih banyak mengalami stunting dibandingkan
dengan anak perempuan.
i.
Sanitasi
lingkungan
Salah satu elemen penting untuk menunjang kesehatan
manusia adalah air bersih dan sanitasi yang baik. Menurut WHO, dampak kesehatan
dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar terhadap air bersih dan sanitasi
diantaranya terlihat pada anak-anak sebagai kelompok usia rentan yang secara
khusus berisiko terhadap penyakit bersumber air, seperti diare. Penyakit diare
yang dialami pada awal masa kanak-kanak dapat memberikan konsekuensi jangka
panjang terhadap tinggi badan menurut umur (Aditianti, 2010).
j.
Pelayanan
kesehatan
Pelayanan kesehatan adalah akses atau keterjangkauan
anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan
seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan
anak, penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu,
puskesmas, praktek bidan atau dokter, rumah sakit dan persediaan air bersih.
Ketidakterjangkauan pelayanan kesehatan (karena jauh dan atau tidak mampu
membayar), kurangnya pendidikan dan pengetahuan, merupakan kendala masyarakat
dan keluarga memanfaatkan secara baik pelayanan kesehatan yang tersedia. Hal
ini dapat berdampak juga pada status gizi anak (Aditianti, 2010).
Kejadian penyakit infeksi (morbiditas) erat
kaitannya dengan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Selain itu
pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan juga berkaitan erat dengan
morbiditas dan akhirnya berpengaruh terhadap status gizi. upaya penurunan angka
morbiditas dan meningkatkan statis gizi bayi dan balita dapat diusahakan
melalui memanfaatkan akses pelayanan kesehatan dan penatalaksanaan kasus penderita
secara benar dan tepat waktu (Hidayat et
al., 2009).
k.
Status Imunisasi
Imunisasi merupakan suatu proses yang menjadikan seseorang kebal
atau dapat melawan terhadap penyakit infeksi. Pemberian imunisasi biasanya
dalam bentuk vaksin. Vaksin merangsang tubuh untuk membentuk sistem kekebalan
yang digunakan untuk melawan infeksi atau penyakit. Ketika tubuh kita diberi
vaksin atau imunisasi, tubuh akan terpajan oleh virus atau bakteri yang sudah
dilemahkan atau dimatikan dalam jumlah yang sedikit dan aman. Kemudian sistem
kekebalan tubuh akan mengingat virus atau bakteri yang telah dimasukkan dan
melawan infeksi yang disebabkan oleh virus atau bakteri tersebut ketika
menyerang tubuh kita di kemudian hari (Immunizations, 2010).
Menurut
Marimbi (2010) jenis imunisasi yang wajib diberikan pada balita di bawah 12
bulan adalah BCG, hepatitis B, polio, DPT, dan campak. Penelitian Taguri et al. (2007) menunjukkan bahwa status
imunisasi yang tidak lengkap memiliki hubungan yang signifikan dalam kejadian stunting pada anak usia < 5 tahun.
Sumber :
ACC/SCN
& International Food Policy Research Institute (IFRI). 2000. 4th Report on The World Nutrition
Situation, Nutrition Throughout The Life Cycle.
Adeladza,
T.A. 2009. “The Influence of Socio-Economic and Nutritional Characteristics on Child
Growth in Kwale District of Kenya”.
African Journal of Agriculture and Development. Vol. 9 (7).
Aditianti.
2010. “Faktor Determinan Stunting pada
Anak Usia 24-59 Bulan di Indonesia”. Tesis.
Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Adriani,
M dan Wiratmadi, B. 2012. Pengantar Gizi
Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Almatsier,
S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Amigo,
H., Buston, P., Radrigan, ME. 1997. Is there a
relationship between parent’s short height and their children’s? Social
interclass epidemiologic study. Rev Med
Child; Aug; 125 (8).
Anindita,
P. 2012. “Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu, Pendapatan Keluarga, Kecukupan
Protein & Zink dengan Stunting (pendek)
pada Balita Uisa 6-35 Bulan di Kecamatan Tembalang Kota Semarang”. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol. 1 (2):
617-626.
Anisa,
P. 2012. “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia 25-60 Bulan di Kelurahan Kalibaru Depok
Tahun 2012”. Skripsi. Depok: Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Anugraheni,
H.S. 2012. Faktor Resiko Kejadian Stunting
pada Anak Usia 12-36 Bulan di Kecamatan Pati, Kabupaten Pati. Artikel Penelitian. Semarang: Program
Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro.
Arikunto,
S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Astari,
L.D., Nasoetion, A., & Dwiriani, C.M. 2005. Hubungan Karakteristik
Keluarga, Pola Pengasuhan dan Kejadian Stunting
Anak Usia 6-12 Bulan. Jurnal Media
Gizi & Keluarga, 29 (2) : 40-46.
1 comments:
Terimakasih Sangat membantu :)
Post a Comment