Thursday, April 2, 2015

FAKTOR PENYEBAB STUNTED

FAKTOR PENYEBAB STUNTED



Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stunting
Menurut UNICEF (1998), pertumbuhan dipengaruhi oleh sebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung diantaranya adalah asupan makanan dan keadaan kesehatan, sedangkan penyebab tidak langsung meliputi ketersediaan dan pola konsumsi rumah tangga, pola pengasuhan anak, sanitasi lingkungan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Faktor-faktor tersebut ditentukan oleh sumber daya manusia, eknonomi dan organisasi melalui faktor pendidikan. Penyebab paling mendasar dari tumbuh kembang adalah masalah struktur politik, ideologi, dan sosial ekonomi yang dilandasi oleh potensi sumber daya yang ada (Supariasa et al., 2012).
Menurut Tuft (2001) dalam The World Bank (2007) stunting disebabkan oleh tiga faktor yaitu faktor individu yang meliputi asupan makanan, berat badan lahir, dan keadaan kesehatan; faktor rumah tangga yang meliputi kualitas dan kuantitas makanan, sumber daya, jumlah dan struktur keluarga, pola asuh, perawatan kesehatan, dan pelayanan; serta faktor lingkungan yang meliputi infrastruktur sosial ekonomi, layanan pendidikan dan layanan kesehatan. Sedangkan menurut Soetjiningsih (1995) tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan.

Faktor Langsung
a.         Asupan Makan
Asupan zat-zat gizi yang lengkap masih terus dibutuhkan anak selama proses tumbuh kembang masih berlanjut karena proses tumbuh kembang ini dipengaruhi oleh makanan yang diberikan pada anak. Makanan yang diberikan harus tepat baik jenis dan jumlahnya hingga kandungan gizinya. Zat gizi yang dibutuhkan anak ditentukan oleh usia, jenis kelamin, aktivitas, berat badan, dan tinggi badan. Tubuh anak tetap membutuhkan semua zat gizi utama yaitu karbohidrat, lemak, protein, serat, vitamin dan mineral (Marimbi, 2010).
Menurut Marimbi (2010) antara asupan zat gizi dan pengeluarannya harus ada keseimbangan sehingga diperoleh status gizi yang baik. Penilaian status gizi dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi dapat dilakukan melalui survey konsumsi makanan (Depkes Malang, 2008). Menurut Supariasa et al. (2012) ada beberapa metode pengukuran konsumsi makanan. Untuk menentukan jumlah konsumsi rata-rata dari sekelompok responden maka dapat menggunakan metode recall 2x24 jam atau penimbangan selama satu hari sudah cukup. Sedangkan untuk mengetahui kebiasaan atau pola konsumsi dari sekelompok masyarakat, maka dapat menggunakan metode frekuensi makanan. Berikut ini langkah-langkah penggunaan metode recall 2x24 jam dan frekuensi makanan :
1)        Metode Food Recall 2x24 jam
Langkah pelaksanaan recall 2x24 jam, sebagai berikut :
a)      Petugas atau pewawancara menanyakan kembali dan mencatat semua makanan dan minuman yang dikonsumsi responden dalam ukuran rumah tangga (URT) selama kurun waktu 24 jam yang lalu. Selain dari makann utama, makanan kecil atau jajan juga dicatat, termasuk makanan yang dimakan diluar rumah.
b)      Pewawancara melakukan konversi dari URT ke dalam ukuran berat (gram). Dalam menaksir/ memperkirakan ke dalam ukuran berat (gram) pewawancara menggunakan berbgai alat bantu seperti ukuran rumah tangga (piring, gelas, sendok, dan lain-lain) atau model dari makanan (food model). Makanan yang dikonsumsi dapat dihitung dengan alat bantu ini atau dengan menimbang langsung contoh makanan yang dikonsumsi.
c)      Menganalisis bahan makanan ke dalam zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM)
d)     Membandingkan dengan Daftar Kecukupan Gizi yang dianjurkan (DKGA) atau Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk Indonesia
2)        Metode Frekuensi Makanan (Food Frequency)
Langkah pelaksanaan Frekuensi Makanan (Food Frequency), sebagai berikut :
a)      Responden diminta untuk memberi tanda pada daftar makanan yang tersedia pada kuesioner mengenai frekuensi penggunaanya dan ukuran porsinya
b)      Lakukan rekapitulasi tentang frekuensi penggunaan jenis-jenis bahan makanan terutama bahan makanan yang merupakan sumber-sumber zat gizi tertentu selama periode tertentu.
Untuk menilai tingkat konsumsi makanan (energi dan zat gizi), diperlukan standar kecukupan yang dianjurkan atau Recommended Dietary Allowance (RDA) untuk populasi yang diteliti. Menurut Permenkes (2013) angka kecukupan gizi yang dianjurkan berdasarkan AKG (2012) sebagai berikut :
Tabel 2.2  Kebutuhan Energi, Protein, Lemak, dan Karbohidrat Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2012 rata-rata perhari
Kelompok umur
BB*
(Kg)
TB*
(cm)
Energi
(Kkal)
Protein
(g)
Lemak (g)
Karbohidrat
(g)
Serat
(g)
Air
(mL)
Total
n-6
n-3
0-6 bulan
6
61
550
12
34
4,4
0,5
58
0
-
7-11 bulan
9
71
725
18
36
4,4
0,5
82
10
800
1-3 tahun
13
91
1125
26
44
7,0
0,7
155
16
1200
4-6 tahun
19
112
1600
35
62
10,0
0,9
220
22
1500
7-9 tahun
27
130
1850
49
72
10,0
0,9
254
26
1900
Sumber : Permenkes RI (2013)
Tabel 2.3 Kebutuhan Mineral Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2012 rata-rata perhari
Mineral
Kelompok Umur
0-6 bulan
7-11 bulan
1-3 tahun
4-6 tahun
7-9 tahun
Kalsium (mg)
200
250
650
1000
1000
Fosfor (mg)
100
250
500
500
500
Magnesium (mg)
30
55
60
95
120
Natrium (mg)
120
200
1000
1200
1200
Kalium (mg)
500
700
3000
3800
4500
Mangan (mg)
-
0,6
1,2
1,5
1,7
Tembaga (mg)
200
220
340
440
570
Kromium (mcg)
-
6
11
15
20
Besi (mg)
-
7
8
9
10
Iodium (mg)
90
120
120
120
120
Seng (mg)
-
3
4
5
11
Selenium (mcg)
5
10
17
20
20
Fluor (mcg)
-
0,4
0,5
0,9
1,2
Sumber : Permenkes RI (2013)
Berdasarkan Buku Pedoman Petugas Gizi Puskesmas Depkes RI (1990), klasifikasi tingkat konsumsi zat gizi makro dibagi menjadi empat dengan cut point masing-masing sebagai berikut (Supariasa et al., 2012) :
-          Lebih                         : ≥ 120% AKG
-          Baik              : 100-119% AKG
-          Sedang                      : 80-99% AKG
-          Kurang                      : 70-79% AKG
-          Defisit                       : < 70% AKG
Sedangkan untuk klasifikasi tingkat konsumsi zat gizi mikro dibagi menjadi dua dengan cut point sebagai berikut (Gibson, 2005):
-          Kurang          : < 77% AKG
-          Cukup                       : ≥ 77% AKG
Terdapat beberapa zat gizi baik zat gizi makro dan mikro yang berhubungan dengan pertumbuhan pada balita, yaitu:
1)        Zat Gizi Makro (Energi dan Protein)
Masa kanak-kanak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan tulang, gigi, otot, dan darah, maka pada masa ini memerlukan zat gizi lebih dibandingkan orang dewasa. Energi yang dibutuhkan oleh anak-anak dipengaruhi oleh basal metabolisme, laju pertumbuhan, dan energi yang dikeluarkan untuk melakukan aktifitas (Mahan et al., 2012). Selain itu, menurut Almatsier (2009) pertumbuhan tinggi badan bisa terhambat bila seorang anak mengalami defisiensi protein (meskipun konsumsi energinya cukup). Jika tubuh kekurangan khususnya karbohidrat dan lemak maka cadangan protein akan dirombak untuk menutupi kekurangan tersebut dan digunakan sebagi sumber energi. Pada anak yang megalami kurang energi protein akan terhambat pertumbuhannya, rentan terhadap penyakit terutama infeksi dan mengakibatkan rendahnya prestasi belajar anak.
Data riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang dilakukan pada tahun 2007 dan 2010 secara konsisten menunjukkan bahwa rata-rata asupan kalori dan protein anak balita masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG). Akibat dari keadaan tersebut, anak balita perempuan dan anak balita laki-laki Indonesia mempunyai rata-rata tinggi badan masing-masing 6,7 cm dan 7,3 cm lebih pendek daripada standar rujukan WHO 2005 (Bappenas, 2011).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa asupan energi dan protein berhubungan dengan kejadian stunting. Penelitian yang dilakukan Fitri (2012) berdasarkan data RISKESDAS 2010 di Sumatera menyebutkan bahwa asupan zat gizi berupa energi dan protein menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap kejadian stunting. Hal yang sama juga ditunjukkan pada penelitian Oktarina (2012) bahwa terdapat hubungan antara tingkat konsumsi energi dengan kejadian stunting pada balita, namun tidak ditemukan hubungan antara tingkat konsumsi protein dengan kejadian stunting. Hal ini berbeda dengan Anisa (2012) dalam penelitiannya ditunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara asupan protein dengan kejadian stunting.
2)        Zat Gizi Mikro (Kalsium, Besi, dan Zink)
Kalsium merupakan salah satu makro elemen, yaitu mineral yang dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg sehari. Sumber utama kalsium dalam makanan terdapat pada susu dan hasil olahnya, seperti keju atau yogurt. Sumber kalsium selain susu juga penting untuk memenuhi kebutuhan kalsium, baik yang berasal dari hewani atau nabati. Sumber kalsium yang berasal dari hewani, seperti sarden, ikan yang dimakan dengan tulang, termasuk ikan kering merupakan sumber kalsium yang baik. Sumber kalsium yang berasal dari nabati, seperti serealia, kacang-kacangan dan hasil kacang-kacangan, tahu dan tempe, dan sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik juga, tetapi bahan makanan ini mengandung banyak zat yang menghambat penyerapan kalsium seperti serat, fitat, dan oksalat (Almatsier, 2009).
Tabel 2.4 Nilai Kalsium dalam Bahan Makanan (mg/100 gram)
Bahan Makanan
Mg
Bahan Makanan
mg
Ikan tawar
346
Kacang panjang
60
Kelor
255
Wortel
45
Tahu
223
Jeruk
33
Kacang hijau
223
Ubi jalar
30
Sawi
220
Bayam
27
Telur bebek
150
Pepaya
23
Telur ayam
147
Mangga
20
Susu
143
Daging ayam
13
Udang
136
Roti
10
Tempe
129
Pisang
9
Ikan laut
92
Semangka
7
Singkong
77
Jagung
6
Kentang
63
Apel
6
Biscuit
62
Daging sapi
3










Sumber : Tabel Komposisi Pangan Indonesia (2009)
Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh. sekitar 99% total kalsium dalam tubuh ditemukan dalam jaringan keras yaitu tulang dan gigi terutama dalam bentuk hidoksiapatit, hanya sebagian kecil dalam plasma dan cairan ekstravaskular (Almatsier, 2009). Kalsium di dalam tulang mudah dimobilisasi ke dalam cairan tubuh dan darah, bila diperlukan untuk diteruskan kepada sel-sel jaringan yang lebih memerlukannya. Terutama trabecule dari struktur tulang merupakan tempat penimbunan kalsium yang mudah sekali melepaskan kalsium untuk dipergunakan ke dalam keperluan lain (Sediaoetama, 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar tingkat konsumsi kalsium anak balita tergolong kurang sebesar 60,46%. Masa balita adalah masa pertumbuhan, dimana pada masa ini diperlukan kalsium yang tinggi. Karena kekurangan kekurangan kalsium pada masa pertumbuhan menyebabkan gangguan pertumbuhan. Tulang kurang kuat, mudah bengkok, dan rapuh (Almatsier, 2009). Menurut Sulistyoningsih (2012) defisiensi kalsium dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, tulang mudah patah, rakhitis pada anak-anak, sering kejang, mineralisasi tulang dan gigi terganggu (kerusakan gigi).
Salah satu mikronutrien esensial bagi manusia adalah Fe atau zat besi yang merupakan mineral mikro yang paling banyak di dalam tubuh yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh (Almatsier, 2009). Sumber zat besi paling utama dan paling baik baik adalah pada makanan hewani, seperti daging, ayam, ikan dan makanan hasil olahan darah. Sumber zat besi yang baik lainnya adalah telur, serealia, kacang-kacangan, biji-bijian, sayuran hijau, dan buah-buahan. Disamping jumlah besi, perlu diperhatikan kualitas besi di dalam makanan yang dinamkan juga ketersediaan biologik tinggi, besi dalam serealia dan kacang-kacangan mempunyai ketersediaan biologik sedang, dan besi dalam sebagian besar sayuran, terutama yang mengandung oksalat tinggi seperti bayam mempunyai ketersediaan biologik rendah.
 
Tabel 2.5 Nilai Zat Besi dalam Bahan Makanan (mg/100 gram)
Bahan Makanan
Mg
Bahan Makanan
mg
Udang
8
Daging ayam
1,5
Kacang hijau
7,5
Roti
1,5
Telur ayam
7,2
Jagung
1,1
Telur bebek
7
Singkong
1,1
Kelor
6
Mangga
1
Tempe
4
Wortel
1
Bayam
3,5
Ikan tawar
0,9
Tahu
3,4
Pisang
0,9
Sawi
2,9
Kentang
0,7
Daging sapi
2,8
Kacang panjang
0,6
Biskuit
2,7
Jeruk
0,4
Ikan laut
1,7
Ubi jalar
0,4
Papaya
1,7
Apel
0,3
Susu
1,7
Semangka
0,2











Sumber : Tabel Komposisi Pangan Indonesia (2009)
Menurut Indonesian Pediatric Society (IDAI) Kekurangan zat besi sangat mempengaruhi fungsi kognitif, tingkah laku dan pertumbuhan seorang bayi. Gejala yang paling sering ditemukan adalah pucat yang berlangsung lama (kronis) dan dapat ditemukan gejala komplikasi antara lain lemas, mudah lelah, mudah infeksi, gangguan prestasi belajar, menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi dan gangguan perilaku.
Zink termasuk dalam kelompok zat gizi mikro yang mutlak dibutuhkan dalam jumlah yang sangat kecil untuk memelihara kehidupan yang optimal. Zink terdapat dalam jumlah yang cukup banyak di dalam setiap sel, kecuali sel darah merah dimana zat besi berfungsi khusus mengangkut oksigen. Sekalipun kalsium merupakan elemen makro namun jumlahnya dalam sel lebih kecil dibandingkan seng, kecuali di dalam tulang. Zink tidak terbatas fungsinya seperti zat besi dan kalsium. Fungsi fisiologi yang bergantung pada seng ialah pertumbuhan dan pembelahan sel, antioksidan, perkembangan seksual, kekebalan seluler dan humoral, adaptasi gelap, pengecapan dan nafsu makan. Zink terutama dibutuhkan untuk proses percepatan pertumbuhan, hal ini bukan saja disebabkan karena efek replikasi sel dan metabolisme asam nukleat, tetapi juga sebagai mediator dari aktifitas hormon pertumbuhan. Bahan makanan sumber zink diantaranya bayam, kepiting, jamur, kacang-kacangan, tiram, kuning telur, biji-bijian dan daging merah.
Tabel 2.6 Nilai Zink dalam Bahan Makanan (mg/100 gram)
Bahan Makanan
Mg
Bahan Makanan
mg
Daging sapi
4,1
Kacang panjang
0,5
Tempe
1,8
Susu
0,4
Daging ayam
1,8
Bayam
0,4
Ikan laut
1,6
Singkong
0,3
Telur bebek
1,4
Jagung
0,3
Kacang hijau
1,3
Sawi
0,2
Udang
1,3
Ubi jalar
0,2
Telur ayam
1,1
Pisang
0,2
Tahu
0,8
Jeruk
0,1
Roti
0,8
Pepaya
0,1
Biskuit
0,7
Semangka
0,1
Kelor
0,6
Mangga
0,04
Wortel
0,6
Kentang
0
Ikan tawar
0,5
Apel
0










Sumber :Nutrisurvey (2007)
Konsekuensi defisiensi mikronutrien selama masa anak-anak sangat berbahaya. Defisiensi zink juga dapat menyebabkan pertumbuhan terlambat, dermatosis, hipogonadisme, oligospermi, adaptasi gelap yang menurun, gangguan imunitas, rambut rontok, nafsu makan yang berkurang (Pudjiaji, 2005). Menurut Solomons (1993) manifestasi defisiensi zink pada manusia sangat bervarisi, pada defisiensi yang ringan gejala-gejala yang ditemukan adalah anoreksi, kulit kering dan oligospermia. Salah satu manifestasi defisiensi seng pada anak balita adalah retardasi pertumbuhan linier (pendek atau stunting). Pada anak-anak gejala yang paling menonjol adalah pertumbuhan yang terhambat (growth retardation).

b.        Penyakit Infeksi
Konsumsi diet yang cukup tidak menjamin pertumbuhan fisik yang normal, karena kejadian penyakit lain, seperti infeksi akut atau kronis, dapat mempengaruhi proses yang kompleks terhadap terjadinya atau pemeliharaan defisit pertumbuhan pada anak (Anisa, 2012). Menurut Suiraoka et al. (2011) hubungan penyakit infeksi dengan keadaan gizi kurang merupakan hubungan timbal balik dan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi yang kurang dapat mempermudah seseorang terkena penyakit infeksi yang akibatnya dapat menurunkan nafsu makan, adanya gangguan penyerapan dalam saluran pencernaan atau peningkatan kebutuhan zat gizi oleh adanya penyakit sehingga kebutuhan zat gizi tidak terpenuhi.
Anak dengan penyakit infeksi dapat mengganggu proses pertumbuhannya. Penyakit infeksi yang sering diderita oleh anak dengan KEP adalah diare dan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) (Suryono et al., 2004). Menurut Supariasa et al. (2012) ada hubungan yang sangat erat antara infeksi (bakteri, virus, dan parasit) dengan kejadian malnutrisi. Mereka menekankan interaksi yang sinergis antara malnutrisi dengan penyakit infeksi dan juga infeksi akan mempengaruhi zat gizi dan mempercepat malnutrisi.
Berdasarkan penelitian Masithah et al. (2005) status kesehatan berupa penyakit infeksi memiliki hubungan positif terhadap indeks status gizi TB/U. Menurut Astari et al. (2005) penyakit infeksi seperti diare dan ISPA yang disebabkan oleh sanitasi pangan dan lingkungan yang buruk, berhubungan dengan kejadian stunting pada bayi usia 6 – 12 bulan. Tando (2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa status kesehatan berupa frekuensi dan durasi sakit pada balita memberikan resiko kemungkinan terjadinya stunting pada anak SD di Kecamatan Malayan Kota Manado.

c.         Berat Lahir
Berat lahir pada khususnya sangat terkait dengan kematian janin, neonatal, dan postneonatal; mordibitas bayi dan anak; dan pertumbuhan dan pengembangan jangka panjang. Bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) didefinisikan oleh WHO yaitu berat lahir kurang dari 2500 gr. Anak yang BBLR kedepannya akan memiliki ukuran antropometri yang kurang di masa dewasa. Bagi perempuan yang lahir dengan berat rendah, memiliki risiko besar untuk menjadi ibu yang stunted sehingga akan cenderung melahirkan bayi dengan berat lahir rendah seperti dirinya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang stunted tersebut akan menjadi perempuan dewasa yang stunted juga, dan akan membentuk siklus sama seperti sebelumnya (Semba dan Bloem, 2001).
Fitri (2012) menyebutkan bahwa berat lahir secara bermakna berhubungan dengan kejadian stunting. Hal ini sejalan dengan penelitian Oktarina (2012) yang menyebutkan bahwa berat lahir merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian stunting.
Growth faltering atau kegagalan pertumbuhan yang mengakibatkan terjadinya stunting atau underweight pada umumnya terjadi dalam periode yang singkat (sebelum lahir hingga kurang lebih umur 2 tahun), namun mempunyai konsekuensi yang serius kemudian hari. Seorang anak laki-laki yang kelak akan menjadi dewasa stunted dapat mengakibatkan produksi kerja yang kurang hingga berdampak terhadap status ekonomi. Sedangkan seorang anak perempuan yang mengalami stunting, layaknya akan menjadi seorang perempuan dewasa stunted, apabila kelak hamil akan lahir seorang bayi dengan berat lahir rendah (Kusharisupeni, 2002).

d.        Genetik
Faktor genetik merupakan modal dasar mencapai hasil proses pertumbuhan. Melalui genetik yang berada di dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan. Hal ini ditandai dengan intensitas dan kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas dan berhentinya pertumbuhan tulang (Soetjiningsih, 1995).  Salah satu atau kedua orang tua yang pendek akibat kondisi patologi (seperti defisiensi hormon pertumbuhan) memiliki gen dalam kromosom yang membawa sifat pendek sehingga memperbesar peluang anak mewarisi gen tersebut dan tumbuh menjadi stunting. Akan tetapi, bila orang tua pendek akibat kekurangan zat gizi atau penyakit, kemungkinan anak dapat tumbuh dengan tinggi badan normal selama anak tersebut tidak terpapar faktor resiko yang lain (Amigo et al., 1997 dalam Nashikah, 2012).
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan tinggi badan orang tua dengan kejadian stunting. Nashikah (2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa tinggi badan orang tua merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting. Hasil ini sejalan dengan penelitian Aditianti (2010) yang menyebutkan bahwa tinggi badan ayah dan ibu merupakan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap kejadian stunting.

Faktor Tidak Langsung
a.         Pola Asuh Gizi
Suatu bentuk rangsangan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan otak bayi adalah degan menerapkan pola asah, asih, dan asuh dalam perawatannya sehari-hari. Dalam pemberian makanan juga perlu ditunjang dengan pemenuhan zat zat gizi yang tepat (Marimbi, 2010). Adapun aspek kunci pola asuh gizi yaitu makanan dan minuman pra-lakteal, pemberian kolostrum, pemberian ASI eksklusif, pemberian MP-ASI, dan praktik penyapihan.
Air susu ibu merupakan makanan yang ideal untuk bayi terutama pada bulan-bulan pertama. ASI mengandung semua zat gizi untuk membangun dan penyediaan energi dalam susunan yang diperlukan. ASI tidak memberatkan fungsi traktus digestivus dan ginjal yang belum berfungsi baik pada bayi yang baru lahir, serta menghasilkan pertumbuhan fisik yang optimum. Kandungan ASI memiliki berbagai zat anti infeksi, mengurangi kejadian eksim atopik. Zat-zat anti infeksi dapat digolongkan dalam golongan spesifik dan non-spesifik. Responsi imunitas spesifik pada umumnya memerlukan kerja sama dengan zat non spesifik untuk menyingkirkan kuman atau virus dari tubuh (Pudjiaji, 2005). Proverawati et al. (2010) menyebutkan ASI mengandung growth faktor yang diantaranya untuk perkembangan mukosa usus. ASI akan melindungi bayi terhadap infeksi dan juga merangsang pertumbuhan bayi yang normal.
Menurut WHO (World Health Organization) ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja tanpa tambahan cairan lain baik susu formula, air putih, air jeruk, ataupun makanan tambahan lain. Sebelum mencapai usia 6 bulan sistem pencernaan bayi belum mampu berfungsi dengan sempurna, sehingga ia belum mampu mencerna makanan selain ASI. Taufiqurrahman (2009), dalam penelitiannya menyatakan bahwa status menyusu juga merupakan faktor risiko terhadap kejadian stunting. Di Indonesia, perilaku ibu dalam pemberian ASI ekslusif memiliki hubungan yang bermakna dengan indeks PB/U, dimana 48 dari 51 anak stunted tidak mendapatkan ASI eksklusif (Oktavia, 2011).
Menginjak usia 6 bulan ke atas, ASI sebagai sumber nutrisi sudah tidak mencukupi lagi kebutuhan gizi yang terus berkembang. Oleh karena itu perlu diberikan makanan pendamping ASI. Pemberian makanan pendamping ASI harus disesuaikan dengan perkembangan sistem alat pencernaan bayi, mulai dari makanan bertekstur cair, kental, semi padat hingga akhirnya makanan padat (Marimbi, 2010).
Pemberian makanan pada bayi dan anak merupakan landasan yang penting dalam proses pertumbuhan. Di seluruh dunia sekitar 30 % anak dibawah lima tahun yang mengalami stunting merupakan konsekuensi dari praktek pemberian makanan yang buruk dan infeksi berulang (WHO, 2011). Meskipun bayi mendapatkan ASI dari ibu secara optimal, namun jika setelah berusia 6 bulan tidak mendapatkan makanan pendamping yang cukup baik dari segi kuantitas maupun kualitas, anak-anak akan tetap mengalami stunting (UNICEF, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Istiftiani (2011) menunjukan bahwa umur pertama pemberian MP-ASI berhubungan signifikan dengan indeks status gizi PB/U pada baduta.

b.        Tingkat Pendidikan Orang Tua
Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak. Karena dengan pendidikan yang baik, maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang tata cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anaknya, pendidikannya, dan sebagainya (Soetjiningsih, 1995). Penelitian Anisa (2012) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan ayah dan ibu dengan kejadian stunting pada balita di Kelurahan Kalibaru Depok.

c.         Pekerjaan Ibu
Menurut Zakiah (1998) dalam Aditianti (2010) status pekerjaan orang tua mempengaruhi pola pengasuhan. Pada orang tua yang bekerja, khususnya ibu, dapat menyebabkan berkurangnya alokasi waktu untuk anak lebih sedikit dibandingkan dengan ibu yang bekerja. Hasil penelitian Diana (2006) mengemukakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pola asuh makan dengan pekerjaan ibu. Ibu yang bekerja di luar rumah dapat menyebabkan anak tidak terawatt, sebab anak balita sangat bergantung pada pengasuhannya atau anggota keluarga yang lain. Selain itu, ibu yang bekerja diluar rumah cenderung memiliki waktu yang lebih terbatas untuk melaksanakan tugas rumah tangga dibandingkan ibu yang tidak bekerja, oleh karena itu pola pengasuhan anak akan berpengaruh dan pada akhirnya pertumbuhan dan perkembangan anak juga akan terganggu.

d.        Pengetahuan Gizi Ibu
Hidayat (2005) menjelaskan bahwa pengetahuan gizi yang rendah dapat menghambat usaha perbaikan gizi yang baik pada keluarga maupun masyarakat sadar gizi artinya tidak hanya mengetahui gizi tetapi harus mengerti dan mau berbuat. Menurut Suhardjo (2003) tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang tentang kebutuhan akan zat-zat gizi berpengaruh terhadap jumlah dan jenis bahan makanan yang dikonsumsi. Pengetahuan gizi merupakan salah satu faktor yang dapat berpengaruh terhadap konsumsi pangan dan status gizi. Ibu yang cukup pengetahuan gizinya akan memperhatikan kebutuhan gizi anaknya agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.

e.         Jumlah Anggota Keluarga
Jumlah anggota rumah tangga juga memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian stunting pada balita. Anak-anak stunting berasal dari keluarga yang jumlah anggota rumah tangganya lebih banyak dibandingkan dengan anak-anak normal (Tshwane University of Technology et al., 2006 dalam Oktarina, 2012).
Hidayah (2011) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa balita stunting cenderung lebih banyak terdapat pada keluarga yang memiiki jumlah anggota rumah tangga > 4 orang dibandingkan dengan keluarga yang memiliki anggota rumah tangga ≤ 4 orang. Hal tersebut dikarenakan keluarga dengan anggota rumah tangga > 4 orang cenderung memiliki biaya pengeluaran per kapita lebih kecil dibandingkan keluarga dengan anggota rumah tangga < 4 orang. Semakin kecilnya pengeluaran per kapita tersebut dapat mengurangi kemampuan dalam penyediaan makanan bagi tiap-tiap orang dalam keluarga tersebut, termasuk balita.

f.         Status Ekonomi Keluarga (Pendapatan dan Pengeluaran)
Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun yang sekunder (Soetjiningsih, 1995). Menurut Husaini et al. (2006), apabila pendapatan rendah, maka kebutuhan pangan cenderung lebih dominan dibandingkan dengan kebutuhan non pangan. Di negara-negara berkembang golongan miskin menggunakan bagian terbesar dari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan makanan, yaitu umumnya dua per tiga dari pendapatannya. Namun sebaliknya, apabila pendapatan semakin baik, maka pengeluaran untuk non pangan akan semakin besar, mengingat semua kebutuhan pokok untuk makan sudah tepenuhi (Suhardjo, 2003).
Tingkat pengeluaran untuk makanan merupakan kejadian yang dapat menggambarkan keadaan ekonomi suatu keluarga. Keluarga ekonomi rendah akan cenderung membelanjakan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar yaitu makanan. Makanan yang lebih banyak dibeli yaitu makanan berpati sedangkan untuk makanan sumber protein adalah terutama protein hewani. Hal ini akan menghubungkan tidak terpenuhinya kebutuhan gizi anak erutama kebutuhan protein sehingga akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi anak. Status gizi anak dan kurangnya asupan protein akan menyebabkan anak menjadi sulit tumbuh dan berkembang. Keadaan ini diperparah apabila tidak mempunyai alokasi dana sehingga kejadian ini akan memperparah kondisi kesehatan, status gizi dan tumbuh kembang anak (Santi, 2011).

g.        Umur
Laju pertumbuhan pada tahun pertama kehidupan adalah lebih cepat dibandingkan pada usia lainnya. Jika dilihat dari umur balita, ternyata kejadian stunting banyak terdapat pada usia 12 hingga 59 bulan (Fitri, 2012). Menurut Pudjiadi (2005) bertambahnya panjang badan lebih cepat pada tahun pertama dibandingkan dengan tahun-tahun berikutnya. Dilahirkan dengan panjang badan 50 cm, pada umur 50 cm, pada umur 1 tahun naik menjadi 75 cm (kenaikan 25 cm), pada umur 2 tahun 87 cm (bertambah 12 cm dalam tahun kedua) pada umur 3 tahun 92 cm (naik hanya 7 cm).

h.        Jenis Kelamin
Jenis kelamin menentukan pula besar kecilnya kebutuhan gizi bagi seseorang. Pria lebih banyak membutuhkan zat tenaga dan protein  dibandingkan wanita. Pria lebih sanggup mengerjakan pekerjaan berat yang biasanya tidak biasa dilakukan oleh wanita. Tetapi dalam kebutuhan zat besi, wanita jelas membutuhkan lebih banyak daripada pria (Fitri, 2012). Dalam penelitian Aditianti (2010) menunjukkan adanya hubungan antara jenis kelamin anak dengan status gizi. anak laki-laki lebih banyak mengalami stunting dibandingkan dengan anak perempuan.

i.          Sanitasi lingkungan
Salah satu elemen penting untuk menunjang kesehatan manusia adalah air bersih dan sanitasi yang baik. Menurut WHO, dampak kesehatan dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar terhadap air bersih dan sanitasi diantaranya terlihat pada anak-anak sebagai kelompok usia rentan yang secara khusus berisiko terhadap penyakit bersumber air, seperti diare. Penyakit diare yang dialami pada awal masa kanak-kanak dapat memberikan konsekuensi jangka panjang terhadap tinggi badan menurut umur (Aditianti, 2010).

j.          Pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan adalah akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek bidan atau dokter, rumah sakit dan persediaan air bersih. Ketidakterjangkauan pelayanan kesehatan (karena jauh dan atau tidak mampu membayar), kurangnya pendidikan dan pengetahuan, merupakan kendala masyarakat dan keluarga memanfaatkan secara baik pelayanan kesehatan yang tersedia. Hal ini dapat berdampak juga pada status gizi anak (Aditianti, 2010).
Kejadian penyakit infeksi (morbiditas) erat kaitannya dengan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Selain itu pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan juga berkaitan erat dengan morbiditas dan akhirnya berpengaruh terhadap status gizi. upaya penurunan angka morbiditas dan meningkatkan statis gizi bayi dan balita dapat diusahakan melalui memanfaatkan akses pelayanan kesehatan dan penatalaksanaan kasus penderita secara benar dan tepat waktu (Hidayat et al., 2009).

k.        Status Imunisasi
Imunisasi merupakan suatu proses yang menjadikan seseorang kebal atau dapat melawan terhadap penyakit infeksi. Pemberian imunisasi biasanya dalam bentuk vaksin. Vaksin merangsang tubuh untuk membentuk sistem kekebalan yang digunakan untuk melawan infeksi atau penyakit. Ketika tubuh kita diberi vaksin atau imunisasi, tubuh akan terpajan oleh virus atau bakteri yang sudah dilemahkan atau dimatikan dalam jumlah yang sedikit dan aman. Kemudian sistem kekebalan tubuh akan mengingat virus atau bakteri yang telah dimasukkan dan melawan infeksi yang disebabkan oleh virus atau bakteri tersebut ketika menyerang tubuh kita di kemudian hari (Immunizations, 2010).
Menurut Marimbi (2010) jenis imunisasi yang wajib diberikan pada balita di bawah 12 bulan adalah BCG, hepatitis B, polio, DPT, dan campak. Penelitian Taguri et al. (2007) menunjukkan bahwa status imunisasi yang tidak lengkap memiliki hubungan yang signifikan dalam kejadian stunting pada anak usia < 5 tahun. 

Sumber :
ACC/SCN & International Food Policy Research Institute (IFRI). 2000. 4th Report on The World Nutrition Situation, Nutrition Throughout The Life Cycle.
Adeladza, T.A. 2009. “The Influence of Socio-Economic and Nutritional Characteristics on Child Growth in Kwale District of Kenya”. African Journal of Agriculture and Development. Vol. 9 (7).
Aditianti. 2010. “Faktor Determinan Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di Indonesia”. Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Adriani, M dan Wiratmadi, B. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Almatsier, S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Amigo, H., Buston, P., Radrigan, ME. 1997. Is there a  relationship between parent’s short height and their children’s? Social interclass epidemiologic study. Rev Med Child; Aug; 125 (8).
Anindita, P. 2012. “Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu, Pendapatan Keluarga, Kecukupan Protein & Zink dengan Stunting (pendek) pada Balita Uisa 6-35 Bulan di Kecamatan Tembalang Kota Semarang”. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol. 1 (2): 617-626.
Anisa, P. 2012. “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia 25-60 Bulan di Kelurahan Kalibaru Depok Tahun 2012”. Skripsi. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Anugraheni, H.S. 2012. Faktor Resiko Kejadian Stunting pada Anak Usia 12-36 Bulan di Kecamatan Pati, Kabupaten Pati. Artikel Penelitian. Semarang: Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Astari, L.D., Nasoetion, A., & Dwiriani, C.M. 2005. Hubungan Karakteristik Keluarga, Pola Pengasuhan dan Kejadian Stunting Anak Usia 6-12 Bulan. Jurnal Media Gizi & Keluarga, 29 (2) : 40-46.




1 comments:

Unknown said...

Terimakasih Sangat membantu :)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Facebook Themes