Thursday, March 8, 2012

Peran Pola Asuh keluarga pada balita gizi buruk dan gizi kurang

Pengasuhan keluarga berpengaruh pada kejadian balita gizi kurang/buruk

Keluarga adalah kumpulan orang yang tinggal bersama pada satu tempat tinggal yang disatukan dengan ikatan perkawinan dan/ darah dan/ adopsi pada dua generasi (keluarga inti) (BKKBN Jember, 2008 dalam Rasni, 2009). Lima fungsi dasar keluarga adalah fungsi afektif, fungsi sosialisasi, fungsi asuhan kesehatan, fungsi reproduksi dan fungsi ekonomi (Friedman et al., 2003 dalam Rasni, 2009). Terkait dengan fungsi asuhan kesehatan tersebut, keluarga yang berperan baik akan dapat melakukan pemberian asupan makanan anak balita sesuai kebutuhannya, terutama orang tua khususnya ibu mempunyai andil yang besar dalam pemberian asupan makanan atau nutrisi pada anak balita (Rasni, 2009).

Peran ibu dalam keluarga khususnya dalam rangka pemenuhan asupan nutrisi pada anak balita berhubungan dengan tingkat pendidikan ibu, jenis pekerjaan ibu dan tingkat pengetahuan ibu tentang gizi. Wanita yang berpendidikan lebih rendah atau tidak berpendidikan biasanya mempunyai anak lebih banyak dibandingkan yang berpendidikan lebih tinggi. Mereka yang berpendidikan rendah umumnya tidak dapat/sulit diajak memahami dampak negatif dari mempunyai banyak anak (Khomsan dan Kusharto dalam Khomsan et al., 2004). Pendidikan yang rendah, terutama pada perempuan yang umumnya berperan di sektor domestik atau menjadi pengasuh dari anggota keluarga akan menyebabkan anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang, tidak mendapat ASI Eksklusif, tidak mendapat MP-ASI yang tepat serta kurang mendapat zat gizi makro dan mikro dalam kuantitas dan kualitas yang cukup (Soekirman, 2001 dalam Rasni, 2009).

Selain itu, tingkat pendidikan berhubungan dengan status gizi karena dengan meningkatnya pendidikan, kemungkinan akan meningkatkan pendapatan sehingga dapat meningkatkan daya beli makanan (Hartriyanti dan Triyanti dalam Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM-UI, 2007). Terkait dengan pekerjaan ibu, dalam penelitian Suryono dan Supardi (2004) disebutkan bahwa pekerjaan ibu secara statistik tidak berhubungan dengan status gizi anak batita, namun pekerjaan memiliki OR 5.26 yang berarti jika ibu bekerja maka kemungkinan 5.26 kali lebih banyak pengaruhnya terhadap terjadinya gizi buruk dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Keterbatasan pengetahuan ibu tentang gizi merupakan faktor penyebab tidak langsung timbulnya masalah gizi buruk. Pengetahuan gizi ibu adalah tingkat pemahaman ibu tentang pertumbuhan anak balita, perawatan dan pemberian makan anak balita gizi buruk dan pemilihan serta pengolahan makanan anak balita gizi buruk.

Dalam penelitian Wonatorey et al. (2006) disebutkan bahwa peningkatan status gizi anak balita gizi buruk kemungkinan dipengaruhi oleh meningkatnya pengetahuan gizi ibu dalam pengolahan dan perawatan anak balita gizi buruk melalui konseling gizi. Peningkatan pengetahuan gizi ibu ini mempengaruhi praktek pemberian makanan Gizi Burukada anak balita terutama Gizi Burukatuhan ibu dalam memberikan intervensi PMT-P yang diberikan Gizi Burukada anak balita. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Susie et al. (2002) dalam Wonatorey et al. (2006) menyatakan bahwa penanggulangan gizi buruk, menunjukkan perubahan status gizi baru bisa dilihat setelah anak yang menderita gizi buruk mengikuti program rehabilitasi atau pemulihan selama 6 bulan mencakup aspek media, dietetik dan edukatif.

Menurut Marian Zeitien (2000), pola asuh gizi adalah praktek di rumah tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan Perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak. Sedangkan menurut Soekirman (2000), pola asuh adalah berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal memberi makan, kebersihan, memberi kasih sayang dan sebagainya kesemuanya berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan mental).

Menurut Satoto (1990), peranan sosial ekonomi keluarga ternyata tidak konsisten sebagai determinan pertumbuhan dan perkembangan anak, karena yang penting bukan keadaan sosial ekonomi itu sendiri, melainkan bagaimana interaksi antara ibu dan anak serta lingkungan dalam mempengaruhi pertumbuhan anak.

Pemasalahan yang sering timbul pada anak dengan gizi kurang pada keluarga sejahtera sebenarnya disebabkan karena anak tersebut selalu menolak makanannya. Kadang-kadang anak menolak maka karena ibunya memberi terlalu banyak perhatian. Anak senang mendapat perhatian sehingga cepat mengetahui bahwa untuk memperolehnya ia menolak makan. Jika dalam keadaan ini anak kemudian dipaksa makan maka akan menimbulkan emosi padanya. Emosi dapat menurunkan produksi cairan lambung hingga menghambat fungsi pencernaanya (Solihin, 1990).

Penolakan makan pada anak kadang juga terjadi karena taste/rasa makanan yang diberikan tidak disukai anak. Namun hal ini tidak disadari oleh para ibu karena menganggap makanan yang diberikan sudah sesuai dengan kondisi anak. Hal ini terutama terjadi pada makanan yang berasal dari produk pabrik. Seharusnya sebelum makanan diberikan pada anak, setidaknya ibu mencicipi makanan tersebut untuk mengetahui taste yang paling disukai anak. Secara psikologis ibu sering kali terpengaruh oleh tekstur makanan yang berbentuk halus sehingga enggan untuk mencicipi (Pattinama, 2000).

Berdasarkan penelitian LIPI (1990), anak-anak yang selalu mendapat tanggapan, respond dan pujian dari ibunya menunjukkan keadaan gizi yang lebih baik. Anak membutuhkan sentuhan ibunya secara merasa dilindungi, Karena pada dasarnya seorang anak sangat membutuhkan kehadiran ibu yang merupakan nuansa yang sulit dapat digantikan orang lain (Utoyo, 2000). Menurut Pattinama (2000), seorang ibu yang bekerja diluar rumah mempunyai kesulitan dalam memenuhi kebutuhan anak, baik fisik maupun psikis, terutama kebutuhan akan perawatan yang baik, rangsangan yang memadai sehingga anak memperoleh aspan gizi yang seimbang. Sebenarnya hal ini dapat teratasi jika ibu dapat melakukan hal sederhana yang dapat menyenangkan anak, misalnya dengan meluangkan sedikit waktu bersama anak.

Penelitian yang dilakukan Made Amin et al. (2004) menunjukkan adanya hasil uji statistik yang bermakna antara pola asuh dengan status gizi yang artinya semakin baik pola asuh semakin baik status gizi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bibi (2001) dalam Made Amin et al. (2004) bahwa dengan adanya pola asuh yang baik utamanya asuhan gizi maka status gizi akan semakin baik. Pola asuh yang kurang baik berhubungan dengan pola pemberian ASI dan MP-ASI yang kurang baik serta prioritas gizi yang salah dalam keluarga. Adapun aspek kunci pola asuh gizi adalah :

1) Perawatan dan Perlindungan Bagi Anak

Setiap orang tua berkewajiban uintuk memberikan Perawatan dan perlindungan bagi anaknya. Masa lima tahun pertama merupakan masa yang akan menentukan pembentukan fisik, psikis, maupun intelengensinya sehingga masa ini mendapatkan Perawatan dan perlindungan yang intensif (Dina Agoes dan Maria Poppy, 2001).

Bentuk Perawatan bagi anak dimulai sejak bayi lahir sampai dewasa misal sejak bayi lahir yaitu memotong pusar bayi, pemberian makan dan sebagainya. Perlindungan bagi anak berupa pengawasan waktu bermain dan pengaturan tidur.

2) Pemberian ASI

Menyusui adalah proses memberikan ASI pada bayi. Pemberian ASI berarti menumbuhkan kasih sayang antara ibu dan bayinya yang akan sangat mempengaruhi tumbuh kembang dan kecerdasan anak dikemudian hari. ASI diberikan setelah lahir biasanya 30 menit setelah lahir. Kolostrum merupakan salah satu kandungan ASI yang sangat penting yang keluar 4 -6 hari pertama. Kolostrum berupa cairan yang agak kemtal dan kasar serta berwarna kekuning-kuningan terdiri dari banyak mineral (natrium, kalium, dan klorida) vitamin A, serta zat-zat anti infeksi penyakit diare, pertusis, difteri, dan tetanus. Sampai bayi berumur 6 bulan hanya diberi ASI saja tanpa tambahan bahan makanan dan minuman lain.

Dalam penelitian Suryono dan Supardi (2004) disebutkan bahwa jika tidak diberi ASI eksklusif akan terjadi 2,86 kali kemungkinan batita mengalami Gizi Buruk dan hal tersebut bermakna secara statistik. Menurut Azwar (2000), masih banyak ibu yang tidak memberikan kolostrum pada bayinya. Selain itu, pemberian ASI terhenti karena ibu kembali bekerja. Di daerah kota dan semi perkotaan ada kecenderungan rendahnya frekuensi menyusui dan ASI dihentikan terlalu dini pada ibu-ibu yang bekerja (Soekirman, 2001 dalam Rasni, 2009). Disebutkan pula adanya mitos ataupun Gizi Burukercayaan/ adat-istiadat masyarakat tertentu yang tidak benar dalam pemberian makanan sebelum ASI, yaitu pemberian air kelapa, air tajin, air teh, madu dan pisang. Makanan yang diberikan pada bayi baru lahir sebelum ASI keluar sangat berbahaya bagi kesehatan bayi dan mengganggu keberhasilan menyusui (Azwar, 2000).

3) Pemberian MP-ASI

Pemberian makanan pendamping ASI harus disesuaikan dengan usia balita. Pengaturan makanan baik untuk pemeliharaan, pemulihan, pertumbuhan, serta aktifitas fisik. Makanan pendamping ASI adalah makanan yang diberikan pada bayi yang telah berusia 6 bulan atau lebih karena ASI tidak lagi memenuhi kebutuhan gizi bayi. Pemberian makanan pendamping ASI harus bertahap dan bervariasi dari mulai bentuk bubur kental, sari buah, buah segar, makanan lumat, makanan lembek dan akhirnya makanan padat. Makanan pendamping ASI diberikan pada bayi di samping ASI. Untuk memenuhi kebutuhan gizi anak balita mulai umur 6 bulan sampai umur 24 bulan (Irianton Aritonang, 1994). Azwar (2000) mengungkapkan pemberian MP-ASI yang kurang baik meliputi:

a) Pemberian MP-ASI yang terlalu dini atau terlambat, dimana pemberian MP-ASI sebelum bayi berumur 6 bulan dapat menurunkan konsumsi ASI dan gangguan pencernaan/diare dan jika pemberian MP-ASI terlambat (bayi sudah lewat usia 6 bulan) dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan anak;

b) Pemberian MP-ASI pada periode umur 6 – 24 bulan sering tidak tepat dan tidak cukup baik kualitas maupun kuantitasnya. Frekuensi pemberian MP-ASI dalam sehari yang kurang akan berakibat kebutuhan gizi anak tidak terpenuhi;

c) Pemberian MP-ASI sebelum ASI pada usia 6 bulan, dimana pada periode ini zat-zat yang diperlukan bayi terutama diperoleh dari ASI. Memberikan MP-ASI terlebih dahulu berarti kemampuan bayi untuk mengkonsumsi ASI berkurang yang berakibat menurunnya produksi ASI, hal ini dapat berakibat anak menderita kurang gizi.

4) Penyiapan Makanan

Makanan akan mempengaruhi pertumbuhan serta perkembangan fisik dan mental anak. Oleh karena itu makanan harus dapat memenuhi kebutuhan gizi anak. Penyiapan makanan harus dapat mencukupi kebutuhan gizi balita. Pengaturan makanan yaitu pengaturan makanan harus dapat disesuaikan dengan usia balita selain untuk mendapatkan gizi pengaturan makanan juga baik untuk pemeliharaan, pemulihan, pertumbuhan, perkembangan serta aktifitas fisiknya (Dina Agoes dan Maria Popy H, 2001)

Makin bertambah usia anak makin bertambah pula kebutuhan makanannya, secara kuantitas maupun kualitas. Untuk memenuhi kebutuhannya tidak cukup dari susu saja. Saat berumur 1-2 tahun perlu diperkenalkan pola makanan dewasa secara bertahap, disamping itu anak usia 1-2 tahun sudah menjalani masa penyapihan. Adapun pola makan orang dewasa yang diperkenalkan pada balita adalah hidangan serba-serbi dengan menu seimbang yang terdiri dari: (Dina Agoes dan Mary Poppy , 2001)

a) Sumber zat tenaga misalkan roti, nasi, mie, dan tepung-tepungan;

b) Sumber zat pembangun misalkan susu, daging, ikan, tempe, tahu dan kacang- kacangan;

c) Sumber zat pengatur misalkan sayur-sayuran dan buah-buahan.

Masa balita merupakan awal pertumbuhan dan perkembangan yang membutuhkan zat gizi terutama pada masa balita. Kecukupan energi bayi dan balita yaitu 0-1 tahun membutuhkan energi 110-120 Kkal/Kg BB, umur 1-3 tahun membutuhkan energi 100 Kkal/Kg BB, dan umur 4-6 tahun memerlukan 90 Kkal 90 Kkal/kg BB (tabel 2.1).


Protein digunakan untuk membangun sel jaringan tubuh, mengganti sel jaringan tubuh yang rusak atau aus, membuat air susu, protein darah dan untuk menjaga keseimbangan asam basa dari cairan tubuh. Kecukupan protein bayi dan balita dalam sehari untuk umur 0-1 tahun memerlukan 2,5 Gr/Kg BB, 1-3 tahun memerlukan 2 Gr/Kg BB, dan 4-6 tahun memerlukan 1,8 Gr/Kg BB
Semakin bertambah usia, air semakin banyak dibutuhkan. Umur 3-10 hari membutuhkan air 80-150 ml/KgBB/hari, 3-9 bulan membutuhkan 125-160 ml/Kg/Hari dan umur 1-5 tahun membutuhkan 100-135 ml/Kg/BB
TABEL KELOMPOK UMUR KEBUTUHAN AIR (ml / Kg BB / Hari )

3 hari 80-100

10 hari 125-150

3 bulan 140-160

6 bulan 130-155

9 bulan 125-145

1 tahun 120-135

2-3 tahun 115-125

4-5 tahun 100-110

Sumber: Dina Agoes dan Maria Popy H (2001)

Pola makanan yang diberikan yaitu menu seimbang sehari-hari, sumber zat tenaga, sumber zat pembangun, dan sunber zat pengatur. Jadwal pemberian makanan bagi bayi dan balita adalah: (Dina Agoes Sulistijani dan Maria Poppy Herlianty, 2003)

a) Tiga kali makanan utama (pagi, siang, malam);

b) Dua kali makanan selingan (diantara dua kali makanan utama).

e. Pengasuhan Psiko-Sosial

Manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya tidak hidup sendiri-sendiri tetapi saling membutuhkan antar sesama dalam kehidupan sehari-hari. Pengasuhan psiko-sosial terwujud dalam pola interaksi dengan anak. Interaksi timbal balik antara anak dan orang tua akan menimbulkan keakraban dalam keluarga.

Pengasuhan psiko-sosial ini antara lain terdiri dari cinta dan kasih sayang serta interaksi antara ibu dan anak. Salah satu hak anak adalah untuk dicintai dan dilindungi. Anak memerlukan kasih sayang dan perlakuan yang adil dari orang tuanya. Pengasuhan psiko-sosial ini didasarkan pada frekuensi interaksi antara ibu dan anak. Meningkatkan kedekatan ibu dan anak ditentukan dengan frekuensi interaksi dan sikap sayang selalu senyum dengan anak (Marian Zeitien, 2001).

f. Kebersihan Diri dan Sanitasi Lingkungan.

Lingkungan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi proses tumbuh kembang anak. Peran orang tua dalam membantu proses pertumbuhan dan perkembangan anak adalah dengan membentuk kebersihan diri dan sanitasi lingkungan yang sehat. Hal ini menyangkut dengan keadaan bersih, rapi, dan teratur. Oleh karena itu anak perlu dilatih untuk mengembangkan sifat-sifat sehat seperti berikut ini: (Dina Agoes Sulistijani dan Maria Poppy Herlianty, 2001)

1) Mandi dua kali sehari;

2) Cuci tangan sebelum dan sesudah tidur;

3) Menyikat gigi sebelum tidur;

4) Membuang sampah pada tempatnya;

5) Buang air kecil pada tempatnya atau WC.

Lingkungan yang buruk dapat menyebabkan penyebaran kuman penyakit. Penyebaran kuman ini akan mengarah pada adanya kontribusi infeksi, dimana infeksi dapat menyebabkan kurangnya nafsu makan sehingga menyebabkan asupan makanan menjadi rendah yang akhirnya menyebabkan kurang gizi (Hartriyanti dan Triyanti dalam Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM-UI, 2007). Dalam penelitian Suryono dan Supardi (2004) disebutkan bahwa kesehatan lingkungan rumah bermakna secara statistik dan memiliki OR 1.8, artinya lingkungan rumah yang tidak baik kemungkinannya 1.8 kali lebih banyak pengaruhnya terhadap terjadinya gizi buruk dibandingkan dengan lingkungan rumah yang baik. Satoto (1990) dalam Made Amin et al. (2004) juga mengungkapkan bahwa hygiene perorangan dan sanitasi lingkungan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap status gizi anak.

g. Praktek Kesehatan di Rumah dan Pola Pencarian Pelayanan Kesehatan.

Bayi dan anak perlu diperiksa kesehatannya oleh bidan atau dokter bila sakit sebab mereka masih memiliki resiko tinggi untuk terserang penyakit. Adapun praktek kesehatan yang dapat dilakukan dalam rangka pemeriksaan pemantauan kesehatan adalah:

1) Imunisasi

Imunisasi merupakan pemberian kekebalan agar bayi tidak mudah terserang atau tertular penyakit seperti hepatitis B (HB), tuberkulosis, difteri, batuk rejan, tetanus, folio dan campak. Pemberian imunisasi harus sedini mungkin dan lengkap. BCG diberikan pada usia 2 bulan, DPT 1-3 diberikan pada usia 2-5 bulan, HB 1-3 diberikan pada usia 3-5 bulan dan campak diberikan pada usia 6 bulan (tabel 4).

2) Pemantauan Pertumbuhan anak

Hal ini dapat dilakukan dengan aktif mendatangi kegiatan pemeliharaan gizi, misalkan posyandu. Sebagian aktif mengikuti pemeliharaan gizi maka orang tua dapat melihat pertumbuhan anak melalui penimbangan balita, pemberian vitamin A pada bulan februari dan Agustus serta pemberian makanan tambahan (Dina Agoes dan Maria Poppy, 2001).

Prioritas gizi yang salah dalam keluarga

Prioritas gizi yang salah pada keluarga, dimana banyak keluarga yang memprioritaskan makanan untuk anggota keluarga yang lebih besar (seperti ayah atau kakak tertua) dibandingkan anak balita (terutama yang berusia dibawah dua tahun) sehingga apabila makan bersama-sama maka anak yang berusia balita akan kalah (Rasni, 2009).

i

3 comments:

gedekabinawa said...

Apik tenan...hehe

gedekabinawa said...

met berkarya, Lita..

makanan anak sehatku said...

Artikel yang padat info. Terima Kasih, Bu. Selamat berkarya...

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Facebook Themes