Saturday, March 19, 2016

Determinan Partisipasi Masyarakat (D/S) ke posyandu




   Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat ke Posyandu

1        Faktor Pendorong (Predisposing Factor)
a.         Umur
Umur adalah lama waktu  hidup atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan). Umur berpengaruh terhadap terbentuknya kemampuan, karena kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dapat diperoleh melalui pengalaman sehari-hari selain faktor pendidikannya. Orang tua muda terutama ibu, cenderung kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh anak sehingga umumnya mereka mengasuh anak hanya berdasarkan pengalaman orang tuanya terdahulu. Selain itu, faktor usia yang muda juga cenderung menjadikan ibu untuk mendahulukan kepentingan sendiri daripada kepentingan anaknya sehingga kuantitas dan kualitas pengasuhan kurang terpenuhi (Hidayati, 2010:32).
Berdasarkan penelitian Riana (2008), semakin tinggi umur seseorang maka mempengaruhi tingkat wawasan masyarakat mengenai sanitasi, lingkungan dan perumahan yang semuanya itu terkait dengan perilaku seseorang dalam mengambil sebuah tindakan untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.
b.        Pendidikan
Pendidikan dalam arti luas mencakup seluruh proses kehidupan dan segala bentuk interaksi individu dan lingkungannya, baik secara formal maupun informal. Inti dari kegiatan pendidikan adalah proses belajar mengajar. Hasil dari proses belajar mengajar adalah seperangkat perubahan tingkah laku. Jadi tingkat pendidikan sangat besar pengaruhnya terhadap tingah laku (Supariasa, 2012:48).
Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat berdasarkan lamanya atau jenis pendidikan yang dialami seseorang (Khomsan et al, 2007). Pendidikan dapat berfungsi sebagai dasar seseorang untuk berperilaku sesuai dengan tingkatan dan jenis pendidikan yang diikutinya. Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anaknya, pendidikannya dan sebagainya (Soetjiningsih, 2007:10).
Secara biologis ibu adalah sumber hidup anak. Tingkat pendidikan ibu bayak menentukan sikap dan menghadapi berbagai masalah. Anak-anak dari ibu yang memiliki latar belakang pendidikan lebih tinggi mendapat kesempatan hidup serta tumbuh lebih baik. Keterbukaan mereka untuk menerima perubahan atau hal baru guna pemeliharaan kesehatan anak (Fitri, 2012). Pendidikan ibu sangat erat kaitannya dengan kesehatan anak. Hal ini dikarenakan, ibu adalah pendidik pertama bagi anaknya dan sekaligus menjadi pengasuh utama bagi anak. Oleh karena itu, seseorang ibu hendaknya dibekali dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan dalam merawat anak, terutama dalam masalah tumbuh kembang anak. Tingkat pendidikan ini juga mempengaruhi terjadinya perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan (Atmarita dan Fallah, 2005). 
c.         Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan (Knowledge) diartikan sebagai hasil pengindraan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya, sehingga menghasilkan pengetahuan. Hal tersebut dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek (Notoatmodjo, 2007:140).  Selanjutnya tingkat pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh kemampuan intelektualnya. Tingkat pengetahuan akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman dan kejelasan konsep mengenai objek tertentu, karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku tidak didasari oleh pengetahuan. Seseorang dengan pendidikan relatif tinggi cenderung memiliki pengetahuan yang lebih baik dibandingkan dengan yang berpendidikan lebih rendah (Khomsan et al, 2007). Dalam penelitian Maharsi (2007), pengetahuan ibu berhubungan dengan partisipasi ibu balita ke Posyandu.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Penelitian Rogers 1974 dalam Notoatmodjo (2007:144) disebutkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yaitu:
1)        Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek)
2)        Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap subjek sudah mulai timbul
3)        Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus  tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi
4)        Trial,  dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan  apa yang dikehendaki oleh stimulus
5)        Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus
Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut diatas. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini, dimana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng. Sebaliknya apabila perilaku tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran tidak berlangsung lama.
a.         Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu perbuatan ( action), tetapi dari sikap dapat diramalkan perbuatannya. Sikap merupakan kecenderungan yang berasal dari dalam diri individu untuk berkelakuan dengan pola-pola tertentu, terhadap suatu objek akibat pendirian dan perasaan terhadap objek tersebut (Notoatmodjo, 2010:52).
Sikap tidak dibawa seseorang semenjak lahir tapi mengalami proses dan dipengaruhi lingkungan. Oleh karena itu, lingkungan mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan dan perubahan sikap. Sikap tidak sama dengan perilaku dan perilaku tidak selalu mencerminkan sikap seseorang. Individu sering kali memperlihatkan tindakan bertentangan dengan sikapnya. Akan tetapi, sikap dapat menimbulkan pola-pola cara berfikir tertentu dalam masyarakat dan sebaliknya, pola-pola cara berfikir ini mempengaruhi tindakan dan kelakuan masyarakat, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam hal membuat keputusan yang penting dalam hidup (Azwar, 2009:11).
Sikap terbentuk karena ada faktor pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta pengaruh faktor emosional (Azwar, 2009:30). Sikap seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang objek tertentu, melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya. Sikap dapat terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami individu. Interaksi disini tidak hanya berupa kontak sosial dan hubungan antarpribadi sebagai anggota kelompok sosial, tetapi meliputi juga hubungan dengan lingkungan fisik maupun lingkungan psikologis serta dapat berubah jika ada pengalaman luar biasa (Maulana, 2009:41). Dalam penelitian Maharsi (2007) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara sikap ibu dengan partisipasi ibu balita ke posyandu.
b.        Status Bekerja
Semakin meningkatnya jumlah angkatan kerja wanita diberbagai sektor, sehingga semakin banyak ibu yang harus meninggalkan anaknya. Status pekerjaan ibu digunakan untuk mengetahui penggunaan waktu sehari-hari ibu untuk anak balita. Karena dengan mengetahui status pekerjaan baik ibu yang bekerja maupun ibu yang tidak bekerja akan dapat dijadikan sebagai latar belakang penentuan sikap terhadap anak balita. Ibu yang tidak bekerja akan mempunyai waktu yang lebih banyak untuk mengurus keluarga, terutama dalam memberikan perhatian dan kasih sayang pada anaknya jika dibandingkan dengan ibu yang sedang bekerja (Depkes RI, 2005).
Pekerjaan termasuk ke dalam salah satu sumber pendapatan dalam keluarga. Dengan adanya pekerjaan tetap dalam suatu keluarga, maka keluarga tersebut relatif terjamin pendapatannya setiap bulan. Jika keluarga tidak memiliki pekerjaan tetap, maka pendapatan keluarga setiap bulannya juga tidak dapat dipastikan (Khomsan et al, 2007).
Seseorang yang mempunyai pekerjaan dengan waktu yang cukup padat akan mempengaruhi ketidak hadiran dalam pelaksanaan posyandu. Pada umumnya orang tua tidak mempunyai waktu luang, sehingga semakin tinggi aktivitas pekerjaan orang tua semakin sulit datang ke posyandu. Ibu balita yang tidak bekerja berpeluang baik untuk berkunjung ke posyandu dibandingkan dengan ibu yang bekerja. Hasil penelitian kualitatif di Kota Denpasar yang dilakukan Widiastuti (2006) juga ditemukan bahwa ibu yang bekerja menyebabkan tidak membawa anaknya ke posyandu untuk ditimbang.
c.         Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga merupakan faktor penting dalam memberikan pengasuhan anak yang memadai dan dapat menjamin kebutuhan yang diperlukan anak dalam pertumbuhannya (Sudiman, 2008). Menurut Soetjiningsih (2007:10), pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak balita yang primer seperti makanan, maupun yang sekunder. Akan tetapi pada hakikatnya masalah kurang dan masalah gizi bersifat multikompleks karena tidak hanya faktor ekonomi saja yang berperan, tetapi mempunyai keluarga yang mempunyai status gizi baik dan ada pula yang keluarga yang nongakin berstatus gizi  buruk.
Pada umumnya jika tingkat pendapatan naik jumlah dan jenis makanan cenderung untuk membaik juga tetapi mutu makanan tidak selalu membaik (Suhardjo, 2003:10). Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin adalah paling rentan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga dan anak paling kecil paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Jumlah keluarga juga mempengaruhi dimana dengan pendapatan keluarga harus memenuhi pangan bagi semua anak-anaknya. Sumber pangan keluarga, terutama mereka yang sangat  miskin, akan lebih memenuhi kebutuhan makanannya jika harus diberi makanan dalam jumlah yang kecil. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga besar tersebut. Tidak dapat disangkal bahwa penghasilan keluarga akan turut menentukan hidangan yang disajikan untuk keluarga sehari-hari, baik kualitas atau jumlah makanan (Moehji, 2002:6). Seorang ibu dapat memilih bahan makanan tidak begitu mahal akan tetapi nilai gizinya tinggi. Bahan makanan tersebut seperti tempe atau tahu yang mengandung protein dengan harga yang terjangkau (Sulistyowati, 2007).
2        Faktor Pendukung (Factor Enabling)
a.         Akses Pelayanan Kesehatan
Menurut Anderson jarak merupakan penghalang yang meningkatkan kecenderungan penundaan upaya seseorang atau masyarakat dalam mencari pelayanan kesehatan. Masyarakat diharapkan dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan (posyandu) untuk keluarganya, jika jarak tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari pusat pelayanan kesehatan. Kendala jarak dapat diatasi jika akses menuju posyandu dipermudah dengan meningkatnya sarana dan transportasi yang ada.
Letak posyandu sebaiknya berada di tempat yang mudah didatangi oleh masyarakat, ditentukan lokal sendiri, atau dapat dilaksanakan di rumah penduduk, balai rakyat, pos RT atau RW atau pos lainnya. Hal ini agar jarak posyandu tidak terlalu jauh sehingga tidak menyulitkan masyarakat untuk  menimbangkan anaknya (Khalimah, 2007). Dari beberapa hasil penelitian bahwa faktor jarak ternyata memberikan kontribusi terhadap seseorang dalam melakukan suatu tindakan, seperti yang dikemukakan dalam hasil penelitian Sambas, bahwa responden yang jarak tempuhnya dekat dari rumah ke posyandu berpeluang baik untuk berkunjung ke posyandu dibandingkan yang jarak tempuhnya jauh.


3        Faktor Penguat (Reinforcing factor)
a.         Pelayanan Kader

Menurut Depkes RI (2005), kader adalah anggota masyarakat yang dipilih untuk menangani masalah kesehatan, baik perseorangan maupun masyarakat, serta untuk bekerja dalam hubungan yang amat dekat dengan tempat pelayanan kesehatan dasar. Kader posyandu sebagai penyelenggara utama kegiatan posyandu mempunyai tugas dan tanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan posyandu.
Tugas kader pada hari buka posyandu, antara lain yaitu melaksanakan penimbangan balita dan ibu hamil yang berkunjung ke posyandu, mencatat hasil penimbangan di KMS atau buku KIA dan mengisi buku register posyandu, melaksanakan kegiatan penyuluhan kesehatan dan gizi sesuai dengan hasil penimbangan serta memberikan PMT dan lain-lain. Sedangkan tugas kader diluar hari buka posyandu antara lain; melakukan tindak lanjut terhadap sasaran yang datang dan memerlukan penyuluhan lanjutan, memberitahukan agar sasaran berkunjung saat hari buka posyandu, melakukan kunjungan tatap muka kepada tokoh masyarakat dan menghadiri pertemuan kelompok rutin, kelompok masyarakat atau orgaisasi keagamaan dan lain-lain. Tugas kader selain di posyandu melakukan kunjungan rumah didampingi oleh tenaga kesehatan atau tokoh masyarakat untuk mendata dan mencari tahu tentang sebab ketidak hadiran pengguna posyandu, pendataan bayi, anak balita, ibu hamil, ibu menyusui dan keluarga miskin (GAKIN) (Depkes RI, 2006:34).
Menurut Parasuraman et al dalam Muluk (2008:25) kepuasan terhadap pelayanan yang diberikan dapat dilihat dari lima dimensi antara lain:
1)        Tangibles (bukti langsung)
Meliputi penampilan dan performansi dari fasilitas-fasilitas fisik, peralatan, personel, dan material-material komunikasi yang digunakan dalam proses penyampaian layanan
  2)        Reliability (keandalan)
Kemampuan pihak penyedia jasa dalam memberikan pelayanan secara tepat dan akurat atau sesuai dengan yang telah dijanjikan sehingga pelanggan dapat mempercayai dan mengandalkannya
3)        Responsiveness (daya tangkap)
Kemampuan atau keinginan pihak penyedia jasa untuk segera memberikan bantuan pelayanan yang dibutuhkan dengan tanggap
4)        Assurance (jaminan)
Mencakup kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki penyedia jasa sehingga mampu memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya
5)        Emphaty (empati)
Meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik, dan perhatian dengan tulus terhadap kebutuhan pelanggan.
Ketrampilan kader merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam sistem pelayanan di posyandu, karena dengan pelayanan kader yang terampil akan mendapat respon positif dari ibu-ibu yang mempunyai balita, sehingga terkesan ramah dan baik serta pelayanannya teratur. Hal ini mendorong para ibu rajin berkunjung ke posyandu (Khalimah, 2007). Penelitian Sambas (2002) juga ditemukan terdapat hubungan yang bermakna antara pembinaan dari kader dengan kunjungan ibu-ibu anak balita ke posyandu.
b.        Pelayanan Petugas Kesehatan

Dalam kegiatan posyandu petugas kesehatan menjadi acuan bagi masyarakat. Petugas yang berperilaku baik seperti akrab dengan masyarakat, menunjukkan perhatian pada kegiatan masyarakat dan mampu mendekati para tokoh masyarakat merupakan salah satu cara yang dapat menarik simpatik masyarakat, sehingga masyarakat mau ke posyandu (Widiastuti, 2006). Hal ini sesuai dengan penelitian Sambas yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara bimbingan petugas kesehatan dengan kunjungan ibu-ibu anak balita ke posyandu yang menunjukkan nilai p<0 span="">

Referensi :
Hidayati, N. 2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Partisipasi Iu Balita di Posyandi di Kelurahan Rempoa Kecamatan Ciputat Timur Kota Tanggerang Selatan Tahun 2010. Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kementerian kesehatan Republik Indonesia. 2007. Laporan Riset Kesehatan Dsar (Riskesdas) Tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Republik Indonesia.
Khalimah, U. 2007. Hubungan antara Karateristik dan Sikap Ibu Balita dengan Praktek Imunisasi Campak di wilayah Kerja Puskesmas Sekaran Gunungpati Semarang. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.
Khomsan, A., Anwar, F., Sukandar, D., Riyadi, H., Mudjajanto, E.S. 2007. Studi Implementasi Program gizi: Pemanfaatan, Cakupan, Keefektifan dan Dampak terhadap Status Gizi. Departemen Gizi Mayarakat. Institut Pertanian Bogor.

          Soetjiningsih. 2007. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.


            Sulistyowati. 2007. Hubungan Tingkat Pendapatan, Pendidikan, dan Pengetahuan Gizi  dengan  Status Gizi Anak Balita. Skripsi. Jember: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember

 

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Facebook Themes