Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat
ke Posyandu
1
Faktor Pendorong (Predisposing Factor)
a.
Umur
Umur adalah
lama waktu hidup atau ada (sejak
dilahirkan atau diadakan). Umur berpengaruh terhadap terbentuknya kemampuan,
karena kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dapat diperoleh melalui
pengalaman sehari-hari selain faktor pendidikannya. Orang tua muda terutama
ibu, cenderung kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh anak
sehingga umumnya mereka mengasuh anak hanya berdasarkan pengalaman orang tuanya
terdahulu. Selain itu, faktor usia yang muda juga cenderung menjadikan ibu
untuk mendahulukan kepentingan sendiri daripada kepentingan anaknya sehingga
kuantitas dan kualitas pengasuhan kurang terpenuhi (Hidayati, 2010:32).
Berdasarkan
penelitian Riana (2008), semakin tinggi umur seseorang maka mempengaruhi tingkat
wawasan masyarakat mengenai sanitasi, lingkungan dan perumahan yang semuanya
itu terkait dengan perilaku seseorang dalam mengambil sebuah tindakan untuk
mencapai derajat kesehatan yang optimal.
b.
Pendidikan
Pendidikan
dalam arti luas mencakup seluruh proses kehidupan dan segala bentuk interaksi
individu dan lingkungannya, baik secara formal maupun informal. Inti dari
kegiatan pendidikan adalah proses belajar mengajar. Hasil dari proses belajar
mengajar adalah seperangkat perubahan tingkah laku. Jadi tingkat pendidikan
sangat besar pengaruhnya terhadap tingah laku (Supariasa, 2012:48).
Tingkat
pendidikan seseorang dapat dilihat berdasarkan lamanya atau jenis pendidikan
yang dialami seseorang (Khomsan et al,
2007). Pendidikan dapat berfungsi sebagai dasar seseorang untuk berperilaku
sesuai dengan tingkatan dan jenis pendidikan yang diikutinya. Pendidikan orang
tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak, karena
dengan pendidikan yang baik orang tua dapat menerima segala informasi dari luar
terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan
anaknya, pendidikannya dan sebagainya (Soetjiningsih, 2007:10).
Secara biologis
ibu adalah sumber hidup anak. Tingkat pendidikan ibu bayak menentukan sikap dan
menghadapi berbagai masalah. Anak-anak dari ibu yang memiliki latar belakang
pendidikan lebih tinggi mendapat kesempatan hidup serta tumbuh lebih baik.
Keterbukaan mereka untuk menerima perubahan atau hal baru guna pemeliharaan
kesehatan anak (Fitri, 2012). Pendidikan ibu sangat erat kaitannya dengan
kesehatan anak. Hal ini dikarenakan, ibu adalah pendidik pertama bagi anaknya
dan sekaligus menjadi pengasuh utama bagi anak. Oleh karena itu, seseorang ibu
hendaknya dibekali dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan dalam merawat
anak, terutama dalam masalah tumbuh kembang anak. Tingkat pendidikan ini juga
mempengaruhi terjadinya perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat
pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan
(Atmarita dan Fallah, 2005).
c.
Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan (Knowledge)
diartikan sebagai hasil pengindraan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap
objek melalui indra yang dimilikinya, sehingga menghasilkan pengetahuan. Hal
tersebut dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi
terhadap objek (Notoatmodjo, 2007:140). Selanjutnya tingkat
pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh kemampuan intelektualnya.
Tingkat pengetahuan akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang karena
berhubungan dengan daya nalar, pengalaman dan kejelasan konsep mengenai objek
tertentu, karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari
oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku tidak didasari oleh
pengetahuan. Seseorang dengan pendidikan relatif tinggi cenderung memiliki
pengetahuan yang lebih baik dibandingkan dengan yang berpendidikan lebih rendah
(Khomsan et al, 2007). Dalam penelitian Maharsi (2007), pengetahuan ibu
berhubungan dengan partisipasi ibu balita ke Posyandu.
Pengetahuan
atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang. Penelitian Rogers 1974 dalam Notoatmodjo (2007:144) disebutkan bahwa
sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang
tersebut terjadi proses yang berurutan, yaitu:
1)
Awareness
(kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu
terhadap stimulus (objek)
2)
Interest (merasa
tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap subjek sudah
mulai timbul
3)
Evaluation (menimbang-nimbang)
terhadap baik dan tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik
lagi
4)
Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu
sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh
stimulus
5)
Adoption,
dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan
sikapnya terhadap stimulus
Namun demikian
dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak
selalu melewati tahap-tahap tersebut diatas. Apabila penerimaan perilaku baru
atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini, dimana didasari oleh
pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan
bersifat langgeng. Sebaliknya apabila perilaku tidak didasari oleh pengetahuan
dan kesadaran tidak berlangsung lama.
a.
Sikap
Sikap merupakan
reaksi atau respons yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek.
Sikap belum merupakan suatu perbuatan ( action),
tetapi dari sikap dapat diramalkan perbuatannya. Sikap merupakan kecenderungan
yang berasal dari dalam diri individu untuk berkelakuan dengan pola-pola
tertentu, terhadap suatu objek akibat pendirian dan perasaan terhadap objek
tersebut (Notoatmodjo, 2010:52).
Sikap tidak
dibawa seseorang semenjak lahir tapi mengalami proses dan dipengaruhi
lingkungan. Oleh karena itu, lingkungan mempunyai pengaruh besar dalam
pembentukan dan perubahan sikap. Sikap tidak sama dengan perilaku dan perilaku
tidak selalu mencerminkan sikap seseorang. Individu sering kali memperlihatkan
tindakan bertentangan dengan sikapnya. Akan tetapi, sikap dapat menimbulkan pola-pola cara
berfikir tertentu dalam masyarakat dan sebaliknya, pola-pola cara berfikir ini
mempengaruhi tindakan dan kelakuan masyarakat, baik dalam kehidupan sehari-hari
maupun dalam hal membuat keputusan yang penting dalam hidup (Azwar, 2009:11).
Sikap terbentuk
karena ada faktor pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting,
pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta pengaruh faktor emosional
(Azwar, 2009:30). Sikap seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan
informasi tentang objek tertentu, melalui persuasi serta tekanan dari kelompok
sosialnya. Sikap dapat terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami
individu. Interaksi disini tidak hanya berupa kontak sosial dan hubungan
antarpribadi sebagai anggota kelompok sosial, tetapi meliputi juga hubungan
dengan lingkungan fisik maupun lingkungan psikologis serta dapat berubah jika
ada pengalaman luar biasa (Maulana, 2009:41). Dalam penelitian Maharsi (2007)
menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara sikap ibu dengan partisipasi ibu
balita ke posyandu.
b.
Status
Bekerja
Semakin
meningkatnya jumlah angkatan kerja wanita diberbagai sektor, sehingga semakin
banyak ibu yang harus meninggalkan anaknya. Status pekerjaan ibu digunakan
untuk mengetahui penggunaan waktu sehari-hari ibu untuk anak balita. Karena
dengan mengetahui status pekerjaan baik ibu yang bekerja maupun ibu yang tidak
bekerja akan dapat dijadikan sebagai latar belakang penentuan sikap terhadap
anak balita. Ibu yang tidak bekerja akan mempunyai waktu yang lebih banyak
untuk mengurus keluarga, terutama dalam memberikan perhatian dan kasih sayang
pada anaknya jika dibandingkan dengan ibu yang sedang bekerja (Depkes RI, 2005).
Pekerjaan
termasuk ke dalam salah satu sumber pendapatan dalam keluarga. Dengan adanya
pekerjaan tetap dalam suatu keluarga, maka keluarga tersebut relatif terjamin
pendapatannya setiap bulan. Jika keluarga tidak memiliki pekerjaan tetap, maka
pendapatan keluarga setiap bulannya juga tidak dapat dipastikan (Khomsan et
al, 2007).
Seseorang yang
mempunyai pekerjaan dengan waktu yang cukup padat akan mempengaruhi ketidak
hadiran dalam pelaksanaan posyandu. Pada
umumnya orang tua tidak mempunyai waktu luang, sehingga semakin tinggi
aktivitas pekerjaan orang tua semakin sulit datang ke posyandu.
Ibu balita yang tidak bekerja berpeluang baik untuk berkunjung ke posyandu
dibandingkan dengan ibu yang bekerja. Hasil
penelitian kualitatif di Kota Denpasar yang dilakukan Widiastuti (2006) juga
ditemukan bahwa ibu yang bekerja menyebabkan tidak membawa anaknya ke posyandu
untuk ditimbang.
c.
Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga merupakan faktor penting
dalam memberikan pengasuhan anak yang memadai dan dapat menjamin kebutuhan yang
diperlukan anak dalam pertumbuhannya (Sudiman, 2008). Menurut Soetjiningsih
(2007:10), pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak
karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak balita yang primer seperti
makanan, maupun yang sekunder. Akan tetapi pada hakikatnya masalah kurang dan
masalah gizi bersifat multikompleks karena tidak hanya faktor ekonomi saja yang
berperan, tetapi mempunyai keluarga yang mempunyai status gizi baik dan ada
pula yang keluarga yang nongakin berstatus gizi
buruk.
Pada umumnya jika tingkat pendapatan naik jumlah dan jenis
makanan cenderung untuk membaik juga tetapi mutu makanan tidak selalu membaik
(Suhardjo, 2003:10). Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga
miskin adalah paling rentan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota
keluarga dan anak paling kecil paling terpengaruh oleh kekurangan pangan.
Jumlah keluarga juga mempengaruhi dimana dengan pendapatan keluarga harus
memenuhi pangan bagi semua anak-anaknya. Sumber pangan keluarga, terutama
mereka yang sangat miskin, akan lebih
memenuhi kebutuhan makanannya jika harus diberi makanan dalam jumlah yang
kecil. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar mungkin cukup untuk
keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut, tetapi tidak cukup
untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga besar tersebut. Tidak dapat
disangkal bahwa penghasilan keluarga akan turut menentukan hidangan yang
disajikan untuk keluarga sehari-hari, baik kualitas atau jumlah makanan (Moehji,
2002:6). Seorang ibu dapat memilih bahan makanan tidak begitu mahal akan tetapi
nilai gizinya tinggi. Bahan makanan tersebut seperti tempe atau tahu yang
mengandung protein dengan harga yang terjangkau (Sulistyowati, 2007).
2
Faktor
Pendukung (Factor Enabling)
a.
Akses Pelayanan Kesehatan
Menurut Anderson jarak merupakan penghalang yang meningkatkan kecenderungan
penundaan upaya seseorang atau masyarakat dalam mencari pelayanan kesehatan.
Masyarakat diharapkan dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan (posyandu) untuk
keluarganya, jika jarak tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari pusat
pelayanan kesehatan. Kendala jarak dapat diatasi jika akses menuju posyandu
dipermudah dengan meningkatnya sarana dan transportasi yang ada.
Letak posyandu sebaiknya berada di tempat yang mudah didatangi oleh
masyarakat, ditentukan lokal sendiri, atau dapat dilaksanakan di rumah
penduduk, balai rakyat, pos RT atau RW atau pos lainnya. Hal ini agar jarak posyandu
tidak terlalu jauh sehingga tidak menyulitkan masyarakat untuk menimbangkan anaknya (Khalimah, 2007). Dari
beberapa hasil penelitian bahwa faktor jarak ternyata memberikan kontribusi
terhadap seseorang dalam melakukan suatu tindakan, seperti yang dikemukakan
dalam hasil penelitian Sambas, bahwa responden yang jarak tempuhnya dekat dari
rumah ke posyandu berpeluang baik untuk berkunjung ke posyandu dibandingkan
yang jarak tempuhnya jauh.
3
Faktor Penguat (Reinforcing factor)
a.
Pelayanan Kader
Menurut Depkes RI (2005), kader adalah anggota masyarakat yang dipilih untuk
menangani masalah kesehatan, baik perseorangan maupun masyarakat, serta untuk
bekerja dalam hubungan yang amat dekat dengan tempat pelayanan kesehatan dasar.
Kader posyandu sebagai penyelenggara utama kegiatan posyandu mempunyai tugas
dan tanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan posyandu.
Tugas kader pada hari buka posyandu, antara lain yaitu melaksanakan
penimbangan balita dan ibu hamil yang berkunjung ke posyandu, mencatat hasil
penimbangan di KMS atau buku KIA dan mengisi buku register posyandu,
melaksanakan kegiatan penyuluhan kesehatan dan gizi sesuai dengan hasil
penimbangan serta memberikan PMT dan lain-lain. Sedangkan tugas kader diluar
hari buka posyandu antara lain; melakukan tindak lanjut terhadap sasaran yang
datang dan memerlukan penyuluhan lanjutan, memberitahukan agar sasaran
berkunjung saat hari buka posyandu, melakukan kunjungan tatap muka kepada tokoh
masyarakat dan menghadiri pertemuan kelompok rutin, kelompok masyarakat atau
orgaisasi keagamaan dan lain-lain. Tugas kader selain di posyandu melakukan
kunjungan rumah didampingi oleh tenaga kesehatan atau tokoh masyarakat untuk
mendata dan mencari tahu tentang sebab ketidak hadiran pengguna posyandu,
pendataan bayi, anak balita, ibu hamil, ibu menyusui dan keluarga miskin
(GAKIN) (Depkes RI, 2006:34).
Menurut
Parasuraman et al dalam Muluk (2008:25) kepuasan terhadap pelayanan yang
diberikan dapat dilihat dari lima dimensi antara lain:
1)
Tangibles (bukti langsung)
Meliputi
penampilan dan performansi dari fasilitas-fasilitas fisik, peralatan, personel,
dan material-material komunikasi yang digunakan dalam proses penyampaian
layanan
2)
Reliability (keandalan)
Kemampuan pihak
penyedia jasa dalam memberikan pelayanan secara tepat dan akurat atau sesuai
dengan yang telah dijanjikan sehingga pelanggan dapat mempercayai dan
mengandalkannya
3)
Responsiveness (daya tangkap)
Kemampuan atau
keinginan pihak penyedia jasa untuk segera memberikan bantuan pelayanan yang
dibutuhkan dengan tanggap
4)
Assurance (jaminan)
Mencakup
kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki penyedia jasa
sehingga mampu memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya
5)
Emphaty (empati)
Meliputi
kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik, dan perhatian dengan
tulus terhadap kebutuhan pelanggan.
Ketrampilan kader
merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam sistem pelayanan di posyandu,
karena dengan pelayanan kader yang terampil akan mendapat respon positif dari
ibu-ibu yang mempunyai balita, sehingga terkesan ramah dan baik serta
pelayanannya teratur. Hal ini mendorong para ibu rajin berkunjung ke posyandu
(Khalimah, 2007). Penelitian Sambas (2002) juga ditemukan terdapat hubungan yang
bermakna antara pembinaan dari kader dengan kunjungan ibu-ibu anak balita ke posyandu.
b.
Pelayanan
Petugas Kesehatan
Dalam
kegiatan posyandu petugas kesehatan menjadi acuan bagi masyarakat. Petugas
yang berperilaku baik seperti akrab dengan masyarakat, menunjukkan perhatian
pada kegiatan masyarakat dan mampu mendekati para tokoh masyarakat merupakan
salah satu cara yang dapat menarik simpatik masyarakat, sehingga masyarakat mau
ke posyandu (Widiastuti, 2006). Hal ini sesuai dengan penelitian Sambas
yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara bimbingan petugas
kesehatan dengan kunjungan ibu-ibu anak balita ke posyandu
yang menunjukkan nilai p<0 span="">0>
Referensi :
Hidayati,
N. 2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Partisipasi Iu Balita di
Posyandi di Kelurahan Rempoa Kecamatan Ciputat Timur Kota Tanggerang Selatan
Tahun 2010. Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Kementerian
kesehatan Republik Indonesia. 2007. Laporan Riset Kesehatan Dsar (Riskesdas)
Tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta:
Republik Indonesia.
Khalimah, U. 2007. Hubungan antara Karateristik dan Sikap Ibu
Balita dengan Praktek Imunisasi Campak di wilayah Kerja Puskesmas Sekaran
Gunungpati Semarang. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.
Khomsan, A., Anwar, F., Sukandar, D., Riyadi, H., Mudjajanto, E.S.
2007. Studi Implementasi Program gizi: Pemanfaatan, Cakupan, Keefektifan dan
Dampak terhadap Status Gizi. Departemen Gizi Mayarakat. Institut Pertanian
Bogor.
Soetjiningsih.
2007. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.
Sulistyowati. 2007. Hubungan Tingkat
Pendapatan, Pendidikan, dan Pengetahuan Gizi dengan Status Gizi Anak Balita. Skripsi.
Jember: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember